Archive for Januari 2016
Mendefinisikan ulang arti koperasi karyawan (worker cooperatives)
Koperasi karyawan di Indonesia diwujudkan sebagai sekelompok orang yang bekerja di suatu institusi (PT / BUMN / Pemerintahan) kemudian membentuk koperasi yang beranggotakan pekerja di institusi tersebut. Disini jadinya ada dua institusi yang berbeda yang berada dalam satu lokasi, yaitu Perusahaan Induk (institusi dimana karyawan atau anggota koperasi bekerja mencari nafkah) dan Koperasi Karyawan. Orang yang sama berstatus sebagai karyawan Perusahaan Induk juga berstatus sebagai anggota koperasi karyawan.
Perusahaan Induk memberikan kepada karyawannya gaji bulanan serta tunjangan dan bonus lainnya yang sifatnya bisa bulanan, triwulanan, atau tahunan. Sementara yang bisa diberikan koperasi kepada anggotanya adalah SHU yang diterima setiap tahun, yang kerapkali jumlahnya tidak seberapa. Dari uraian di atas bisa ditebak lebih tinggi mana tingkat keterikatan (engagement) seseorang, apakah terhadap Perusahaan Induknya atau terhadap Koperasi Karyawannya!
Disini seseorang mempunya dua peran yang timpang dan tidak sejalan. Yaitu pertama peran sebagai karyawan di Perusahaan Induk dimana ia bekerja setiap harinya, mengorbankan waktu, energi, dan pemikirannya untuk perusahaan tersebut. Kedua, peran sebagai anggota koperasi dimana yang ia korbankan sebagai anggota hanya berupa simpanan wajib yang tidak seberapa. Dan kalau pun ada waktu yang dikorbankan, paling waktu untuk menghadiri RAT setiap tahunnya, itu pun tidak ada paksaan untuk hadir. Dari pemaparan diatas bisa terbaca mana yang lebih dicintai oleh seseorang, apakah Perusahaan Induknya atau Koperasi Karyawannya!
Tidak heran koperasi karyawan di Indonesia banyak yang tidak berkembang. Mengapa? Karena para anggotanya lebih terikat terhadap Perusahaan Induk, lebih banyak berkorban terhadap Perusahaan Induk, dan pastinya lebih cinta terhadap Perusahaan Induknya. Jangankan anggotanya, kerap kali pengurus koperasinya juga seperti itu. Jadinya Koperasi Karyawan hanya mendapatkan sisa-sisa energi, waktu, dan pemikiran dari para anggota dan pengurusnya. Bagaimana mungkin organisasi yang dibangun dari sisa-sisa bisa tumbuh subur. Mungkin bisa, tetapi kemungkinannya kecil sekali.
Lantas bagaimana koperasi karyawan yang benar? Koperasi karyawan yang benar adalah koperasi karyawan dimana karyawan bekerja untuk koperasi dimana ia menjadi anggotanya. Contohnya seseorang bekerja di sebuah pabrik, pabrik itu dimiliki oleh koperasi. Dan orang tersebut berstatus sebagai karyawan di koperasi tersebut sekaligus anggota di koperasi itu. Sehingga keterikatan, pengorbanan, dan pengabdian full diberikan untuk koperasi. Baik sebagai karyawan maupun sebagai anggota (pemilik). Begitulah seharusnya koperasi karyawan.
Memangnya ada koperasi karyawan seperti itu? Ada, contohnya salah satu yang terkenal di dunia adalah koperasi Mondragon di Spanyol yang memiliki karyawan sekaligus anggota lebih dari 83 ribu orang. Orang yang bekerja di Koperasi Mondagron adalah sekaligus pemilik Koperasi Mondragon itu sendiri. Di Indonesia, bukan tidak mungkin terbentuk koperasi karyawan seperti itu. Dan bahkan mungkin sudah ada, hanya saja wawasan saya terhadap koperasi yang semacam itu di Indonesia masih terbatas.
Bagaimana koperasi karyawan model seperti itu bisa terbentuk? Cara pertama, mulai dari nol, orang-orang yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda bergabung mendirikan usaha dengan badan usaha koperasi. Orang yang menjadi anggota adalah orang yang bekerja di koperasi tersebut, dan sebaliknya. Cara kedua, bisa jadi ada pemilik perusahaan yang mensedekahkan kepemilkan perusahaannya kepada semua karyawannya, sehingga karyawan bisa menjadi pemilik perusahaan tersebut. Kemudian mengganti badan usaha yang tadinya PT menjadi koperasi. Tentunya dengan terlebih dahulu mendidik karyawan agar bisa beradaptasi terhadap status barunya sebagai pemilik perusahaan.
Perusahaan Induk memberikan kepada karyawannya gaji bulanan serta tunjangan dan bonus lainnya yang sifatnya bisa bulanan, triwulanan, atau tahunan. Sementara yang bisa diberikan koperasi kepada anggotanya adalah SHU yang diterima setiap tahun, yang kerapkali jumlahnya tidak seberapa. Dari uraian di atas bisa ditebak lebih tinggi mana tingkat keterikatan (engagement) seseorang, apakah terhadap Perusahaan Induknya atau terhadap Koperasi Karyawannya!
Disini seseorang mempunya dua peran yang timpang dan tidak sejalan. Yaitu pertama peran sebagai karyawan di Perusahaan Induk dimana ia bekerja setiap harinya, mengorbankan waktu, energi, dan pemikirannya untuk perusahaan tersebut. Kedua, peran sebagai anggota koperasi dimana yang ia korbankan sebagai anggota hanya berupa simpanan wajib yang tidak seberapa. Dan kalau pun ada waktu yang dikorbankan, paling waktu untuk menghadiri RAT setiap tahunnya, itu pun tidak ada paksaan untuk hadir. Dari pemaparan diatas bisa terbaca mana yang lebih dicintai oleh seseorang, apakah Perusahaan Induknya atau Koperasi Karyawannya!
Tidak heran koperasi karyawan di Indonesia banyak yang tidak berkembang. Mengapa? Karena para anggotanya lebih terikat terhadap Perusahaan Induk, lebih banyak berkorban terhadap Perusahaan Induk, dan pastinya lebih cinta terhadap Perusahaan Induknya. Jangankan anggotanya, kerap kali pengurus koperasinya juga seperti itu. Jadinya Koperasi Karyawan hanya mendapatkan sisa-sisa energi, waktu, dan pemikiran dari para anggota dan pengurusnya. Bagaimana mungkin organisasi yang dibangun dari sisa-sisa bisa tumbuh subur. Mungkin bisa, tetapi kemungkinannya kecil sekali.
Lantas bagaimana koperasi karyawan yang benar? Koperasi karyawan yang benar adalah koperasi karyawan dimana karyawan bekerja untuk koperasi dimana ia menjadi anggotanya. Contohnya seseorang bekerja di sebuah pabrik, pabrik itu dimiliki oleh koperasi. Dan orang tersebut berstatus sebagai karyawan di koperasi tersebut sekaligus anggota di koperasi itu. Sehingga keterikatan, pengorbanan, dan pengabdian full diberikan untuk koperasi. Baik sebagai karyawan maupun sebagai anggota (pemilik). Begitulah seharusnya koperasi karyawan.
Memangnya ada koperasi karyawan seperti itu? Ada, contohnya salah satu yang terkenal di dunia adalah koperasi Mondragon di Spanyol yang memiliki karyawan sekaligus anggota lebih dari 83 ribu orang. Orang yang bekerja di Koperasi Mondagron adalah sekaligus pemilik Koperasi Mondragon itu sendiri. Di Indonesia, bukan tidak mungkin terbentuk koperasi karyawan seperti itu. Dan bahkan mungkin sudah ada, hanya saja wawasan saya terhadap koperasi yang semacam itu di Indonesia masih terbatas.
Bagaimana koperasi karyawan model seperti itu bisa terbentuk? Cara pertama, mulai dari nol, orang-orang yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda bergabung mendirikan usaha dengan badan usaha koperasi. Orang yang menjadi anggota adalah orang yang bekerja di koperasi tersebut, dan sebaliknya. Cara kedua, bisa jadi ada pemilik perusahaan yang mensedekahkan kepemilkan perusahaannya kepada semua karyawannya, sehingga karyawan bisa menjadi pemilik perusahaan tersebut. Kemudian mengganti badan usaha yang tadinya PT menjadi koperasi. Tentunya dengan terlebih dahulu mendidik karyawan agar bisa beradaptasi terhadap status barunya sebagai pemilik perusahaan.
Selasa, 26 Januari 2016
Bagaimana Koperasi Bisa Berperan Aktif dalam Mengatasi Pengangguran?
Perwakilan dari ILO dalam Asia Pacific Workshop on Youth and University Cooperative di Bangkok, Thailand pada September 2015 lalu menyatakan bahwa sekitar ratusan juta orang yang menganggur. Dan sebagian yang menganggur itu adalah para anak muda. Karenanya ILO memberi rekomendasi bahwa koperasi harus berperan aktif dalam mengurangi pengangguran tersebut. Saya setuju dengan pernyataan tersebut, but how? Melalui apa? Bagaimana caranya yang paling efektif? Dan pertanyaan yang terlebih dahulu perlu di ajukan, apakah koperasi bisa menyelesaikan masalah pengangguran, khususnya di Indonesia?
Satu hal yang pasti, koperasi tidak bisa menyelesaikan masalah pengangguran. Koperasi tidak bisa menyelesaikan masalah pengangguran seorang diri, perlu banyak pihak yang terlibat untuk menyelesaikan tugas besar bangsa Indonesia ini. Pemerintah tentunya wajib terlibat, perusahaan-perusahaan swasta, para konglomerat dan investor, LSM, bahkan hingga di tingkat individu perlu terlibat untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, atau lebih baik lagi; mencetak pihak-pihak yang dapat membuka lapangan pekerjaan.
Meskipun koperasi tidak bisa menyelesaikan permasalahan pengangguran, akan tetapi koperasi jika diberdayakan secara penuh dapat mengurangi secara signifikan jumlah pengangguran di Indonesia. Lantas pertanyaan yang timbul lagi, bagaimana caranya? Berikut salah satu cara koperasi bisa mengurangi tingkat pengangguran. Pasti ada cara-cara lain, akan tetapi dalam tulisan ini saya batasi satu cara koperasi bisa membantu mengatasi masalah pengangguran.
Dalam satu wilayah, katakanlah satu kabupaten atau kota. Pasti ada orang-orang yang memiliki keahlian spesifik. Ada yang memiliki keahlian memasak, ada yang memiliki keahlian melayani orang lain (customer service), ada yang memiliki keahlian mengajar, ada yang memiliki keahlian memasarkan, dan lain sebagainya. Secara orang per orang, secara individu mereka mungkin tidak bisa mendirikan dan menjalankan bisnis sendiri. Orang yang ahli memasak misalnya, tidak tahu bagaimana cara memasarkan masakannya, tidak tahu bagaimana mengelola bisnis seandainya ia mau buka rumah makan, tidak tahu cara melayani pelanggan yang baik, yang ia tahu hanya memasak masakan yang enak.
Bagaimana jika orang yang ahli masak tersebut bergabung dengan orang yang pandai memasarkan (offline maupun online), orang yang ahli desain interior (untuk desain rumah makan), orang yang ahli administrasi (untuk mengurus pembukuan dan administrasi rumah makan), dan bergabung dengan orang-orang lainnya yang mampu menyumbang sesuatu untuk berdirinya rumah makan. Yang tadinya secara orang per orang tidak bisa membuat suatu usaha, dengan bergabung melalui bentuk koperasi, akhirnya bisa membuat usaha sebuah rumah makan. Yang rumah makan tersebut dapat menyerap tenaga kerja seperti asisten juru masak, kasir, pelayan, tukang parkir. Semakin besar rumah makannya, semakin bertambah cabangnya, semakin banyak pula tenaga kerja yang diserapnya.
Contoh diatas jika dikembangkan lebih lanjut, diperluas, bisa menjadi bentuk usaha yang sustainable bahkan usaha konglomerasi yang dimiliki oleh banyak orang. Dalam kasus diatas, tukan masak, ahli desain interior, ahli administrasi, bahkan tukang parkir menjadi pemilik sekaligus pekerja di rumah makan tersebut.
Contoh lainnya misalnya orang yang punya bengkel las kecil-kecilan, ia tahu bagaimana membuat pagar, teralis dan rekayasa logam lainnya. Namun ia tidak tahu bagaimana melakukan pembukuan yang tertib, tidak tahu bagaimana memasarkan usahanya secara optimal, tidak tahu bagaimana mengembangkan usahanya. Di tempat yang tidak terlalu jauh ada usaha pangkas rambut, gerobak gorengan, kios fotokopi dan ATK. Masing-masing dari mereka memiliki keahlian teknis dalam usahanya masing-masing namun tidak memiliki keahlian dalam bidang pemasaran, keuangan dan bisnis. Sehingga usahanya berjalan begitu-begitu saja dari tahun ke tahun, tenaga kerja yang diserap pun hanya satu atau dua orang.
Bayangkan jika orang-orang yang punya usaha, orang-orang yang punya keahlian di bidang pemasaran, keuangan, dan bisnis bisa bergabung dalam suatu wadah. Orang-orang yang punya usaha diuntungkan dengan jasa profesional dan usahanya berkembang. Orang-orang yang punya keahlian diuntungkan dengan mendapat pekerjaan dan ilmunya bermanfaat bagi orang lain. Dengan berkembangnya usaha masing-masing orang, tentunya tenaga kerja yang diserap juga akan semakin banyak. Dengan begitulah koperasi dapat membantu menurunkan tingkat pengangguran.
Dengan bergabung dalam satu koperasi, orang yang punya usaha dibantu agar usahanya tumbuh berkembang serta dikelola secara profesional. Skala usahanya meningkat, efeknya pasti semakin skala usaha berkembang semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, usaha yang berdiri sendiri, tidak tergabung dalam koperasi, tidak tersentuh sentuhan profesional. Usahanya cenderung mandek, begitu-begitu aja dari waktu ke waktu, tenaga kerja yang diserap pun tidak banyak.
Itu hanya salah satu cara dari banyak cara koperasi bisa membantu mengurangi penganguran. Intinya koperasi menyediakan wadah untuk orang per orang bisa saling berkolaborasi, hasli dari kolaborasi itu adalah suatu hal yang insyaallah positif, salah satu hasil dari kolaborasi tersebut adalah terciptanya lapangan pekerjaan.
Satu hal yang pasti, koperasi tidak bisa menyelesaikan masalah pengangguran. Koperasi tidak bisa menyelesaikan masalah pengangguran seorang diri, perlu banyak pihak yang terlibat untuk menyelesaikan tugas besar bangsa Indonesia ini. Pemerintah tentunya wajib terlibat, perusahaan-perusahaan swasta, para konglomerat dan investor, LSM, bahkan hingga di tingkat individu perlu terlibat untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, atau lebih baik lagi; mencetak pihak-pihak yang dapat membuka lapangan pekerjaan.
Meskipun koperasi tidak bisa menyelesaikan permasalahan pengangguran, akan tetapi koperasi jika diberdayakan secara penuh dapat mengurangi secara signifikan jumlah pengangguran di Indonesia. Lantas pertanyaan yang timbul lagi, bagaimana caranya? Berikut salah satu cara koperasi bisa mengurangi tingkat pengangguran. Pasti ada cara-cara lain, akan tetapi dalam tulisan ini saya batasi satu cara koperasi bisa membantu mengatasi masalah pengangguran.
Dalam satu wilayah, katakanlah satu kabupaten atau kota. Pasti ada orang-orang yang memiliki keahlian spesifik. Ada yang memiliki keahlian memasak, ada yang memiliki keahlian melayani orang lain (customer service), ada yang memiliki keahlian mengajar, ada yang memiliki keahlian memasarkan, dan lain sebagainya. Secara orang per orang, secara individu mereka mungkin tidak bisa mendirikan dan menjalankan bisnis sendiri. Orang yang ahli memasak misalnya, tidak tahu bagaimana cara memasarkan masakannya, tidak tahu bagaimana mengelola bisnis seandainya ia mau buka rumah makan, tidak tahu cara melayani pelanggan yang baik, yang ia tahu hanya memasak masakan yang enak.
Bagaimana jika orang yang ahli masak tersebut bergabung dengan orang yang pandai memasarkan (offline maupun online), orang yang ahli desain interior (untuk desain rumah makan), orang yang ahli administrasi (untuk mengurus pembukuan dan administrasi rumah makan), dan bergabung dengan orang-orang lainnya yang mampu menyumbang sesuatu untuk berdirinya rumah makan. Yang tadinya secara orang per orang tidak bisa membuat suatu usaha, dengan bergabung melalui bentuk koperasi, akhirnya bisa membuat usaha sebuah rumah makan. Yang rumah makan tersebut dapat menyerap tenaga kerja seperti asisten juru masak, kasir, pelayan, tukang parkir. Semakin besar rumah makannya, semakin bertambah cabangnya, semakin banyak pula tenaga kerja yang diserapnya.
Contoh diatas jika dikembangkan lebih lanjut, diperluas, bisa menjadi bentuk usaha yang sustainable bahkan usaha konglomerasi yang dimiliki oleh banyak orang. Dalam kasus diatas, tukan masak, ahli desain interior, ahli administrasi, bahkan tukang parkir menjadi pemilik sekaligus pekerja di rumah makan tersebut.
Contoh lainnya misalnya orang yang punya bengkel las kecil-kecilan, ia tahu bagaimana membuat pagar, teralis dan rekayasa logam lainnya. Namun ia tidak tahu bagaimana melakukan pembukuan yang tertib, tidak tahu bagaimana memasarkan usahanya secara optimal, tidak tahu bagaimana mengembangkan usahanya. Di tempat yang tidak terlalu jauh ada usaha pangkas rambut, gerobak gorengan, kios fotokopi dan ATK. Masing-masing dari mereka memiliki keahlian teknis dalam usahanya masing-masing namun tidak memiliki keahlian dalam bidang pemasaran, keuangan dan bisnis. Sehingga usahanya berjalan begitu-begitu saja dari tahun ke tahun, tenaga kerja yang diserap pun hanya satu atau dua orang.
Bayangkan jika orang-orang yang punya usaha, orang-orang yang punya keahlian di bidang pemasaran, keuangan, dan bisnis bisa bergabung dalam suatu wadah. Orang-orang yang punya usaha diuntungkan dengan jasa profesional dan usahanya berkembang. Orang-orang yang punya keahlian diuntungkan dengan mendapat pekerjaan dan ilmunya bermanfaat bagi orang lain. Dengan berkembangnya usaha masing-masing orang, tentunya tenaga kerja yang diserap juga akan semakin banyak. Dengan begitulah koperasi dapat membantu menurunkan tingkat pengangguran.
Dengan bergabung dalam satu koperasi, orang yang punya usaha dibantu agar usahanya tumbuh berkembang serta dikelola secara profesional. Skala usahanya meningkat, efeknya pasti semakin skala usaha berkembang semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, usaha yang berdiri sendiri, tidak tergabung dalam koperasi, tidak tersentuh sentuhan profesional. Usahanya cenderung mandek, begitu-begitu aja dari waktu ke waktu, tenaga kerja yang diserap pun tidak banyak.
Itu hanya salah satu cara dari banyak cara koperasi bisa membantu mengurangi penganguran. Intinya koperasi menyediakan wadah untuk orang per orang bisa saling berkolaborasi, hasli dari kolaborasi itu adalah suatu hal yang insyaallah positif, salah satu hasil dari kolaborasi tersebut adalah terciptanya lapangan pekerjaan.