Archive for Februari 2016
Koperasi dan Peran Dunia Pendidkan
Apa kaitannya koperasi dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan formal SD sampai dengan universitas? Apakah ada kesamaan tujuan antara koperasi dengan dunia pendidikan? Apakah materi mengenai perkoperasian perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal? Sebenarnya masih banyak pertanyaan terkait hubungan antara koperasi dan dunia pendidikan. Dalam tulisan ini saya mencoba menyinggung sedikit kaitan antara dua bidang yang selama ini dianggap terpisah.
Dr. Pramono Hariadi, M.S. Pernah mengatakan bahwa "Koperasi itu didirikan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Di sisi lain sistem pendidikan dalam suatu negara bertujuan untuk meningkatkan kadar intelektual suatu masyarakat. Dan tentunya peningkatan intelektualitas masyarkat ini bukanlah tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri. Tapi dengan peningkatan intelektual ini diharapkan akan bisa diperoleh hasil-hasil yang lain. Salah satu yang ingin dicapai dengan meningkatnya intelektual masyarakat adalah kesejahteraan masyarakat itu. Jadi sebetulnya jika dilihat dari sisi ini sebenarnya tujuan koperasi dan sistem pendidikan itu mempunyai tujuan akhir yang sama. Yaitu kesejahteraan manusia."
Dari keterangan Dr. Pramono Hariadi diatas, menyimpulkan bahwa pada akhirnya tujuan koperasi dan dunia pendidikan itu sejatinya sama, yaitu kesejahteraan masyarakat. Keduanya, koperasi dan pendidikan hanyalah sebagai sarana. Sebagaimana mobil dan motor hanyalah sebagai sarana mencapai suatu tujuan. Dan lalu lintas akan tertib manakala mobil dan motor ini bisa saling bekerja sama dan memahami satu sama lain, tidak saling serobot dan saling mendahului.
Jelas bahwa dunia pendidikan dan koperasi mempunyai tujuan yang sama, hanya dengan peran yang berbeda. Kalau koperasi berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara langsung, maka dunia pendidikan juga berusaha mensejahterakan masyarakat dengan cara yang tak langsung. Kesalahpahaman kita selama ini bahwa pendidikan dipahami sebagai tujuan, bukan sarana. Gelar akademis dijadikan tujuan. Atau jika berpikir sedikit lebih jauh, gelar akademis digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan jadi kehilangan makna dan tujuan sesungguhnya, pendidikan dianggap semata sebagai beban dan kewajiban belaka, terlebih bagi mereka yang tingkat ekonominya pas-pasan.
Pun dalam praktek pendidikan di sekolah dan kampus jarang sekali diterangkan "Mengapa kita perlu mengenyam pendidikan, untuk apa pendidikan yang kita terima sekarang ini". Seolah kita diberi alat tetapi tidak tahu alat itu dipakai untuk membuat apa. Bayangkan orang yang diberi senapan, diajari cara memakai senapan, tetapi tidak diberi tahu senapan itu digunakan untuk apa, bahaya! Begitupun pendidikan jika disalahartikan bisa digunakan untuk membodohi orang lain, memperkaya diri sendiri (dan melupakan masyarakat), mencari status sosial, atau paling ringan menghabiskan uang orang tua.
Dengan adanya materi mengenai perkoperasian di kurikulum pendidikan, maka diharapkan peserta didik tahu ilmu yang mereka pelajari baiknya digunakan untuk apa. Bukankah koperasi akan cepat majunya jika para lulusan terbaik perguruan-perguruan tinggi ternama berlomba-lomba bekerja di koperasi. Yang ada saat ini justru lulusan-lulusan perguruan tinggi pun tidak mengenal apa itu koperasi, yang mereka tahu koperasi itu hanya organisasi kelas teri dan utopia ekonomi. Bahkan sarjana ekonomi pun banyak yang gamang mengenai koperasi itu sendiri. Mirisnya sekarang ini justru lulusan terbaik perguruan tinggi ternama berlomba-lomba bekerja di perusahaan swasta yang tidak lain merupakan simbol ekonomi kapitalisme yang menjadi lawan bagi ekonomi koperasi.
Perlu ada kerjasama antara dua kementrian, kementrian koperasi dan kementrian pendidikan untuk mengarahkan pendidikan agar lebih memihak ekonomi koperasi. Perlu ada pengenalan sejak dini di bangku pendidikan formal mengenai koperasi yang benar dan baik. Perlu ada pendidikan yang memadai di tingkatan pendidikan menengah agar siswa memahami koperasi secara komprehensif. Terakhir di tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa perlu diajak untuk praktek secara langsung untuk berkoperasi. Akan indah jadinya jika koperasi dan dunia pendidikan dapat berjalan beriringan.
Dr. Pramono Hariadi, M.S. Pernah mengatakan bahwa "Koperasi itu didirikan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Di sisi lain sistem pendidikan dalam suatu negara bertujuan untuk meningkatkan kadar intelektual suatu masyarakat. Dan tentunya peningkatan intelektualitas masyarkat ini bukanlah tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri. Tapi dengan peningkatan intelektual ini diharapkan akan bisa diperoleh hasil-hasil yang lain. Salah satu yang ingin dicapai dengan meningkatnya intelektual masyarakat adalah kesejahteraan masyarakat itu. Jadi sebetulnya jika dilihat dari sisi ini sebenarnya tujuan koperasi dan sistem pendidikan itu mempunyai tujuan akhir yang sama. Yaitu kesejahteraan manusia."
Dari keterangan Dr. Pramono Hariadi diatas, menyimpulkan bahwa pada akhirnya tujuan koperasi dan dunia pendidikan itu sejatinya sama, yaitu kesejahteraan masyarakat. Keduanya, koperasi dan pendidikan hanyalah sebagai sarana. Sebagaimana mobil dan motor hanyalah sebagai sarana mencapai suatu tujuan. Dan lalu lintas akan tertib manakala mobil dan motor ini bisa saling bekerja sama dan memahami satu sama lain, tidak saling serobot dan saling mendahului.
Jelas bahwa dunia pendidikan dan koperasi mempunyai tujuan yang sama, hanya dengan peran yang berbeda. Kalau koperasi berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara langsung, maka dunia pendidikan juga berusaha mensejahterakan masyarakat dengan cara yang tak langsung. Kesalahpahaman kita selama ini bahwa pendidikan dipahami sebagai tujuan, bukan sarana. Gelar akademis dijadikan tujuan. Atau jika berpikir sedikit lebih jauh, gelar akademis digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan jadi kehilangan makna dan tujuan sesungguhnya, pendidikan dianggap semata sebagai beban dan kewajiban belaka, terlebih bagi mereka yang tingkat ekonominya pas-pasan.
Pun dalam praktek pendidikan di sekolah dan kampus jarang sekali diterangkan "Mengapa kita perlu mengenyam pendidikan, untuk apa pendidikan yang kita terima sekarang ini". Seolah kita diberi alat tetapi tidak tahu alat itu dipakai untuk membuat apa. Bayangkan orang yang diberi senapan, diajari cara memakai senapan, tetapi tidak diberi tahu senapan itu digunakan untuk apa, bahaya! Begitupun pendidikan jika disalahartikan bisa digunakan untuk membodohi orang lain, memperkaya diri sendiri (dan melupakan masyarakat), mencari status sosial, atau paling ringan menghabiskan uang orang tua.
Dengan adanya materi mengenai perkoperasian di kurikulum pendidikan, maka diharapkan peserta didik tahu ilmu yang mereka pelajari baiknya digunakan untuk apa. Bukankah koperasi akan cepat majunya jika para lulusan terbaik perguruan-perguruan tinggi ternama berlomba-lomba bekerja di koperasi. Yang ada saat ini justru lulusan-lulusan perguruan tinggi pun tidak mengenal apa itu koperasi, yang mereka tahu koperasi itu hanya organisasi kelas teri dan utopia ekonomi. Bahkan sarjana ekonomi pun banyak yang gamang mengenai koperasi itu sendiri. Mirisnya sekarang ini justru lulusan terbaik perguruan tinggi ternama berlomba-lomba bekerja di perusahaan swasta yang tidak lain merupakan simbol ekonomi kapitalisme yang menjadi lawan bagi ekonomi koperasi.
Perlu ada kerjasama antara dua kementrian, kementrian koperasi dan kementrian pendidikan untuk mengarahkan pendidikan agar lebih memihak ekonomi koperasi. Perlu ada pengenalan sejak dini di bangku pendidikan formal mengenai koperasi yang benar dan baik. Perlu ada pendidikan yang memadai di tingkatan pendidikan menengah agar siswa memahami koperasi secara komprehensif. Terakhir di tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa perlu diajak untuk praktek secara langsung untuk berkoperasi. Akan indah jadinya jika koperasi dan dunia pendidikan dapat berjalan beriringan.
Rabu, 03 Februari 2016
Empat Langkah Strategis Membangun Koperasi
Tulisan ini mengutip dari apa yang disampaikan oleh Ir. Ibnoe Soedjono pada seminar "Koperasi di Indonesia Masa Lalu dan Masa Mendatang. Yang diadakan di Purwokerto pada 28 September 2002. Pemikiran lama yang ternyata masih relevan dengan kenyataan yang dihadapi perkoperasian Indonesia saat ini. Ke empat langkah ini disampaikan oleh Ir. Ibnoe Soedjono ( yang ditulis dengan huruf italic ) dengan beberapa penambahan dari penulis. Berikut empat langkah strategis membangun koperasi :
1. Membangun visi koperasi
2. Membangun institusi dan kapasitas koperasi
3. Membangun sumber daya koperasi
4. Menyusun jaringan koperasi
Saya jadi teringat perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA "Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir". Tidak heran jika sistem ekonomi koperasi yang lebih baik bagi masyarakat bisa kalah melawan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya memperkaya segelintir orang. Karena koperasi-koperasi kita kurang terorganisir.
Apa yang disampaikan oleh Ir. Ibnoe Soedjono lebih dari 10 tahun yang lalu ternyata masih relevan dengan kondisi koperasi kita saat ini. Apakah ini isyarat bahwa kondisi koperasi kita saat ini tidak jauh beda dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu? Dengan kata lain selama lebih dari sepuluh tahun kondisi perkoperasian di Indonesia ya begini-begini saja.
Ingin saya berkata, dimana peran pemerintah? Tapi, ah sudahlah. Menyalahkan tidak ada gunanya. Lebih baik menyalakan lilin dalam gelap daripada menggerutu.
1. Membangun visi koperasi
Koperasi kita ini boleh dikatakan tidak memiliki visi. Kita hanya berfikir duit-duit itu saja. Tapi tidak ada visinya sama sekali mengenai peranan koperasi seperti yang dicita-citakan oleh pasal 33 UUD. Pasal ini lebih banyak digunakan sebaga saran politik semata-mata. Orang sering menulis visi tentang apa itu koperasi Indonesia. Memang untuk jangka panjangnya itu sebagai realisasi pasal 33. Tapi dalam pelaksanaannya masing-masing koperasi harus mempunyai visinya sendiri-sendiri. Koperasi mahasiswa harus memabangun visinya sendiri, koperasi karyawan harus membangun visinya sendiri, koperasi pertanian harus membangun visinya sendiri, tetapi diletakkan di dalam jalur yang menuju kepada orde ekonomi tempat koperasi itu berada.Sekarang coba kita perhatikan perusahaan besar mana yang tidak punya visi? Lalu coba kita perhatikan perusahaan-perusahaan kecil, apakah mereka punya visi? Visi itu lah yang membedakan antara organisasi yang besar (atau akan tumbuh besar) dengan organisasi yang kecil (dan akan tetap kecil). Manakala suatu organisasi tidak punya visi, maka bersiaplah untuk mati atau paling baik menjadi stagnan. Gerakan koperasi harus punya visi, koperasi-koperasi sekunder dan tertier harus punya visi sendiri; koperasi primer masing-masing juga harus punya visi sendiri. Yang kesemuanya harus memiliki kesamaan untuk mensejahterakan anggota dan masyarakat. Tiap-tiap koperasi harus punya pandangan jauh ke depan mengenai ingin menjadi seperti apa nantinya.
2. Membangun institusi dan kapasitas koperasi
Koperasi adalah lembaga mikro, dia harus betul-betul riil sebagai organisasi yang sekaligus sebagai perusahaan. Dia harus tuntuk pada kaidah-kaidah itu untuk bisa berkoperasi. Memang tujuannya untuk itu. Tapi kita cenderung berbicara mengenai koperasi makro ekonomi semata-mata, dalam kaitan politik semata-mata, tapi tidak pernah berhasil membangun organisasinya secara mikro. Saya telah mengemukakan, kita telah membangun organisasi yang salah, akibatnya investasi papaun ikut salah pula. Karena itu organisasi inilah yang harus kita bangun kembali.Koperasi bisa dilihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang makroekonomi koperasi bisa sebagai dipakai sebagai sistem ekonomi yang memungkinkan adanya pemerataan kesejahteraan rakyat. Dipandang dari segi mikroekonomi, koperasi merupakan badan usaha yang harus dikelola secara profesional dan mampu memberi nilai tambah bagi seluruh stakeholdernya. Yang kurang dari kita selama ini adalah bahwa kita kurang menitikberatkan untuk mengembangkan kualitas masing-masing koperasi, primer maupun sekunder, untuk bisa berdaya saing. Bagaimana mungkin secara makro koperasi dapat membangun perekonomian bangsa, jika secara mikro koperasi-kopersi primer sebagai batu-batanya rapuh.
3. Membangun sumber daya koperasi
Yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya finansial, dan kemudian sumber daya fisiknya. Itu semua harus kita bangun sebagai basis organisasi ini. Kapasitas yang dimaksudkan disini adalah kemampuan untuk menerima sebanyak mungkin, mengolah dan kemudian memberikan kepada pihak lain.Sebagaimana gerakan koperasi disusun oleh koperasi-koperasi primer dan sekunder. Maka koperasi primer juga disusun atas sumber daya yang telah disebutkan diatas. Untuk membuat masakan yang lezat dan bergizi, tentunya dimulai dari memilih bahan masakan dan bumbu yang tepat dan berkualitas. Jika dari bahannya saja sudah salah, terlalu sedikit, maka masakan yang jadi pun bisa tidak karuan. Begitu pun koperasi disusun oleh manusianya, dari permodalannya, dari infrastruktur fisiknya, dari metode pengelolaannya. Itu semua harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat memperoleh racikan koperasi yang mak nyuss.
4. Menyusun jaringan koperasi
Koperasi bukan organisasi yang terpisah dari lingkungannya. Oleh karena itulah membangun jaringan itu penting karena dari situlah dia memperoleh sumber kekuatannya. Koperasi harus menimba potensinya dari lingkungannya sendiri.Jika dala matematika 1 + 1 = 2, maka dalam kehidupan berorganisasi 1 + 1 > 2, ini yang disebut bersinergi. Seringkali dijumpai antar koperasi sejenis dan sedaerah tidak ada kerjasama, bahkan komunikasi pun tidak. Antar koperasi mahasiswa satu kota / satu provinsi tidak ada forum komunikasi. Bahkan antar koperasi karyawan yang berbeda unit bisnis pun bisa tidak saling bersentuhan. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Ibaratnya bertetangga, koperasi kita tidak saling mengenal satu sama lain. Jika mengenal pun belum bagaimana mau mengadakan kegiatan bersama, jika tidak ada kegiatan bersama bagaimana mau bersatu menggabungkan kekuatan, jika koperasi-koperasi tidak (belum) menggabungkan kekuatan bagaimana gerakan koperasi di Indonesia bisa maju?
Saya jadi teringat perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA "Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir". Tidak heran jika sistem ekonomi koperasi yang lebih baik bagi masyarakat bisa kalah melawan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya memperkaya segelintir orang. Karena koperasi-koperasi kita kurang terorganisir.
Apa yang disampaikan oleh Ir. Ibnoe Soedjono lebih dari 10 tahun yang lalu ternyata masih relevan dengan kondisi koperasi kita saat ini. Apakah ini isyarat bahwa kondisi koperasi kita saat ini tidak jauh beda dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu? Dengan kata lain selama lebih dari sepuluh tahun kondisi perkoperasian di Indonesia ya begini-begini saja.
Ingin saya berkata, dimana peran pemerintah? Tapi, ah sudahlah. Menyalahkan tidak ada gunanya. Lebih baik menyalakan lilin dalam gelap daripada menggerutu.
Negara Jangan Memberikan Fasilitas Berlebihan kepada Koperasi
Belum lama ini diberitakan bahwa koperasi di Indonesia adalah yang terbesar dari segi jumlahnya, yaitu 209 ribu koperasi. Namun sumbangannya terhadap GDP Indonesia hanya 1,7 %. Apa yang membuat koperasi di Indonesia menjadi seperti buih di lautan. Jumlahnya banyak tapi sedikit kontribusinya. Salah satu penyebab dari hal ini bisa dirunut ke zaman orde baru.
Ketika itu pemerintah orde baru sangat memanjakan koperasi. Koperasi diberi bantuan ini dan itu. Sehingga koperasi-koperasi di Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemerintah. Merasa di anak emas kan sehingga lupa mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan dunia usaha yang sesungguhnya. Seolah-olah koperasi telah diberi captive market oleh pemerintah, seolah-olah jika koperasi kekurangan modal tinggal lapor ke pemerintah.
Koperasi layaknya anak yang dimanja orang tuanya. Ada permasalahan permodalan tinggal lapor ke pemerintah, berbeda sekali dengan sektor swasta yang harus memikirkan sendiri masalah permodalannya. Koperasi menjadi (seolah) maju karena ada dukungan dari pemerintah orde baru saat itu. Lantas bergulirlah sang zaman, tahun 1998 pemerintahan orde baru colapse. Orang tua yang dahulu melindungi dan menyokong penuh anaknya tiba-tiba jatuh sakit dan mati. Pemerintah yang tadinya menganakemaskan koperasi berganti menjadi pemerintah yang bersifat netral terhadap semua bentuk badan usaha.
Perilaku koperasi yang menggantungkan diri dan senantiasa menunggu bantuan dari pemerintah terlanjur mengurat akar. Sehingga ketika krisis 1998 terjadi koperasi gagal berubah, gagal menyesuaikan diri untuk bisa sekompetitif badan usaha lainnya. Saat itu pilihannya adalah change or die. Sayangnya kebanyakan koperasi memilih untuk mati suri, die. Sampai saat ini.
Apa yang terjadi saat ini tidak lain adalah konsekuensi dari tindakan kita di masa lalu. Begitu pun apa yang terjadi pada koperasi saat ini adalah konsekuensi dari kebijakan-kebijakan masa lalu. Kita telah belajar bahwa kebijakan pemerintah orde baru yang terlalu memanjakan koperasi dengan cara-cara yang kurang benar ternyata berakibat negatif. Kesalahan masa lalu memang tak dapat diubah. Yang bisa kita lakukan adalah belajar dari masa lalu dan berubah.
Cara negara membesarkan koperasi hendaknya seperti cara orang tua yang baik membesarkan anaknya. Orang tua yang baik memberikan apa-apa yang dibutuhkan anaknya, sandang, pangan, papan, pendidikan. Namun orang tua sadar bahwa tidak selamanya sang anak akan terus tergantung pada orang tua, akan ada masanya anak tumbuh dan harus memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Orang tua yang baik tahu meskipun ia sanggup memberikan handphone, tetapi ia tidak akan memberikan handphone pada anaknya yang masih SD. Begitupun pemerintah, meskipun sanggup mengucurkan dana bantuan kepada koperasi, tetapi tentu tidak akan sembarangan mengucurkan dana tersebut kepada koperasi-koperasi yang belum siap secara usaha dan manajerial untuk mengelola dana bantuan tersebut.
Di luar bantuan berupa permodalan, ada bentuk bantuan lagi yang sebetulnya lebih penting. Yaitu fasilitas bantuan berupa pendidikan, pendampingan, dan penyuluhan. Dari ke tiga bantuan tersebut, menurut saya bantuan berupa pendampingan adalah yang paling diperlukan oleh koperasi di Indonesia sekarang ini. Mengapa? Karena kondisi koperasi yang sudah sedemikian parah ini tidak bisa dibenahi hanya dengan mengadakan beberapa kali seminar atau pelatihan. Terkadang peserta bingung ketika pulang dari suatu pelatihan, bagaimana mereka menerapkan ilmu yang didapat dalam praktek berkoperasi sehari-hari. Karenanya perlu ada pihak yang mendampingi, day by day, selama kurun waktu tertentu sampai koperasi bisa mengintegrasikan ilmu ke dalam praktek.
Untuk bantuan berupa permodalan ada baiknya lebih banyak diserahkan kepada anggota dan investor. Penyebabnya adalah jika pemerintah yang lebih banyak memberikan bantuan permodalan, maka ada kecenderungan dana yang diberikan penggunaannya kurang efisien dan terkendali. Karena sifatnya pemerintah memang tidak mengharapkan keuntungan dari dana yang disalurkan, bahkan buruknya dana yang disalurkan dianggap sebagai uang hibah sehingga ada kecenderungan untuk dibagi-bagi.
Kalau masalah permodalan diserahkan kepada anggota dan investor. Tentunya anggota dan investor menuntut bagi hasil yang kompetitif dan jaminan keamanan dana yang disimpan di koperasi. Sehingga koperasi yang mendapat modal dari anggota atau investor menjadi lebih terpacu untuk menggunakan dana tersebut untuk kegiatan-kegiatan yang benar-benar produktif. Serta menjadi suatu dorongan untuk senantiasa menjaga agar uang anggota dan investor aman disimpan di koperasi.
Terakhir, pemerintah memang perlu dan harus membantu koperasi dalam segala bentuk. Akan tetapi jangan berlebihan dan perlu melihat konteks dari yang dibantu.
Ketika itu pemerintah orde baru sangat memanjakan koperasi. Koperasi diberi bantuan ini dan itu. Sehingga koperasi-koperasi di Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemerintah. Merasa di anak emas kan sehingga lupa mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan dunia usaha yang sesungguhnya. Seolah-olah koperasi telah diberi captive market oleh pemerintah, seolah-olah jika koperasi kekurangan modal tinggal lapor ke pemerintah.
Koperasi layaknya anak yang dimanja orang tuanya. Ada permasalahan permodalan tinggal lapor ke pemerintah, berbeda sekali dengan sektor swasta yang harus memikirkan sendiri masalah permodalannya. Koperasi menjadi (seolah) maju karena ada dukungan dari pemerintah orde baru saat itu. Lantas bergulirlah sang zaman, tahun 1998 pemerintahan orde baru colapse. Orang tua yang dahulu melindungi dan menyokong penuh anaknya tiba-tiba jatuh sakit dan mati. Pemerintah yang tadinya menganakemaskan koperasi berganti menjadi pemerintah yang bersifat netral terhadap semua bentuk badan usaha.
Perilaku koperasi yang menggantungkan diri dan senantiasa menunggu bantuan dari pemerintah terlanjur mengurat akar. Sehingga ketika krisis 1998 terjadi koperasi gagal berubah, gagal menyesuaikan diri untuk bisa sekompetitif badan usaha lainnya. Saat itu pilihannya adalah change or die. Sayangnya kebanyakan koperasi memilih untuk mati suri, die. Sampai saat ini.
Apa yang terjadi saat ini tidak lain adalah konsekuensi dari tindakan kita di masa lalu. Begitu pun apa yang terjadi pada koperasi saat ini adalah konsekuensi dari kebijakan-kebijakan masa lalu. Kita telah belajar bahwa kebijakan pemerintah orde baru yang terlalu memanjakan koperasi dengan cara-cara yang kurang benar ternyata berakibat negatif. Kesalahan masa lalu memang tak dapat diubah. Yang bisa kita lakukan adalah belajar dari masa lalu dan berubah.
Cara negara membesarkan koperasi hendaknya seperti cara orang tua yang baik membesarkan anaknya. Orang tua yang baik memberikan apa-apa yang dibutuhkan anaknya, sandang, pangan, papan, pendidikan. Namun orang tua sadar bahwa tidak selamanya sang anak akan terus tergantung pada orang tua, akan ada masanya anak tumbuh dan harus memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Orang tua yang baik tahu meskipun ia sanggup memberikan handphone, tetapi ia tidak akan memberikan handphone pada anaknya yang masih SD. Begitupun pemerintah, meskipun sanggup mengucurkan dana bantuan kepada koperasi, tetapi tentu tidak akan sembarangan mengucurkan dana tersebut kepada koperasi-koperasi yang belum siap secara usaha dan manajerial untuk mengelola dana bantuan tersebut.
Di luar bantuan berupa permodalan, ada bentuk bantuan lagi yang sebetulnya lebih penting. Yaitu fasilitas bantuan berupa pendidikan, pendampingan, dan penyuluhan. Dari ke tiga bantuan tersebut, menurut saya bantuan berupa pendampingan adalah yang paling diperlukan oleh koperasi di Indonesia sekarang ini. Mengapa? Karena kondisi koperasi yang sudah sedemikian parah ini tidak bisa dibenahi hanya dengan mengadakan beberapa kali seminar atau pelatihan. Terkadang peserta bingung ketika pulang dari suatu pelatihan, bagaimana mereka menerapkan ilmu yang didapat dalam praktek berkoperasi sehari-hari. Karenanya perlu ada pihak yang mendampingi, day by day, selama kurun waktu tertentu sampai koperasi bisa mengintegrasikan ilmu ke dalam praktek.
Untuk bantuan berupa permodalan ada baiknya lebih banyak diserahkan kepada anggota dan investor. Penyebabnya adalah jika pemerintah yang lebih banyak memberikan bantuan permodalan, maka ada kecenderungan dana yang diberikan penggunaannya kurang efisien dan terkendali. Karena sifatnya pemerintah memang tidak mengharapkan keuntungan dari dana yang disalurkan, bahkan buruknya dana yang disalurkan dianggap sebagai uang hibah sehingga ada kecenderungan untuk dibagi-bagi.
Kalau masalah permodalan diserahkan kepada anggota dan investor. Tentunya anggota dan investor menuntut bagi hasil yang kompetitif dan jaminan keamanan dana yang disimpan di koperasi. Sehingga koperasi yang mendapat modal dari anggota atau investor menjadi lebih terpacu untuk menggunakan dana tersebut untuk kegiatan-kegiatan yang benar-benar produktif. Serta menjadi suatu dorongan untuk senantiasa menjaga agar uang anggota dan investor aman disimpan di koperasi.
Terakhir, pemerintah memang perlu dan harus membantu koperasi dalam segala bentuk. Akan tetapi jangan berlebihan dan perlu melihat konteks dari yang dibantu.