Archive for September 2015

Kurangnya Edukasi terhadap Anggota Koperasi

Koperasi bukanlah kumpulan modal, koperasi adalah kumpulan orang. Dalam berkoperasi, simpanan yang diberikan anggota di koperasi adalah nomor dua. Yang terpenting adalah kontribusi dan kesadaran anggota kepada koperasi. Jika anggota hanya menaruh uang dan setelah itu tidak memedulikan bagaimana koperasi dikelola, tidak berkontribusi terhadap perkembangan koperasi, tidak bertransaksi dengan koperasi. Maka apa bedanya koperasi dengan badan usaha lainnya?

Mendidik anggota adalah tugas jangka panjang pengurus, tugas jangka panjang koperasi. Jangan sampai ada anggota yang tidak tahu apa hak dan kewajibannya. Dan tugas berat ini tidak bisa diemban oleh pengurus sendirian, perlu ada partisipasi aktif dari anggota koperasi untuk memunculkan kesadaran berkoperasi. Bahwa koperasi bukan sekedar bisnis, meskipun bisnis meerupakan bagian tak terpisahkan dari koperasi. Bahwa prinsip, falsafah dan tujuan koperasi itu lebih penting dibanding SHU yang didapatkan anggota setiap tahunnya.

Jangan sampai anggota koperasi hanya terpaku pada tujuan mensejahterakan anggota, padahal anggota sudah sejahtera. Dan lupa terhadap tujuan koperasi lainnya yaitu mensejahterakan masyarakat dan turut membangun tataran perekonomian yang adil, makmur, dan sejahtera. Di kebanyakan koperasi, terutama di koperasi karyawan, karena saya bekerja di koperasi tersebut. Yang dipedulikan anggota adalah SHU di awal tahun. Sungguh miris, koperasi seperti sapi perah. Di perah manfaatnya hanya untuk anggota. Masih mending jika anggota tersebut belum sejahtera, kalau anggotanya sudah sejahtera. Koperasi hanyalah berfungsi sebagai 'investasi yang menguntungkan'.

Adalagi kisah miris terkait pemahaman anggota terhadap koperasi. Menjadi kebenaran umum bahwa pengurus melakukan segala bentuk promosi untuk memancing anggota agar mau hadir dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), pancingan itu bisa berupa door prize, uang duduk, kupon belanja, dan lain-lain. Akan tetapi yang tadinya hanya diniatkan jadi pancingan, justru lama-kelamaan itu menjadi suatu keharusan dan menjadi tujuan utama anggota ikut RAT. Sampai ada kalimat yang terucap dari mulut anggota 'Buat apa ikut RAT! Ga da uang duduknya'. Jadi Anda anggota koperasi duduk dalam RAT hanya karena uang? Kalau begitu sebaiknya Anda mengundurkan diri saja dari anggota koperasi. Memalukan!

Kalau begitu niatnya, jangan bentuk koperasi, bentuk saja PT. Anda sebagai pemilik tidak harus hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tinggal tunjuk komisaris. Anda sebagai pemilik tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah tunggu uang deviden di transfer ke rekening Anda. Jadi buat apa repot-repot membentuk koperasi jika tujuannya hanya seperti itu. Apalagi di zaman sekarang, anggapan orang banyak adalah koperasi harus bisa bersaing dengan PT, karenanya koperasi juga harus bisa menggenjot keuntungan sebesar-besarnya. Bukan disitu ranah perjuangan koperasi. Ranah perjuangan koperasi bukan hanya untuk mensejahterakan pemiliknya, namun juga masyarakat secara umum.

Lantas apa yang perlu di edukasi kepada anggota? Yang pertama adalah pemahamannya terhadap koperasi. Untuk apa berkoperasi, tujuan koperasi, apa hak dan kewajiban anggota. Kedua adalah sikap, yaitu :

1. Saling menghormati
Di koperasi dimana satu orang punya satu suara. Setiap orang berhak mengemukakan pendapat. Di koperasi karyawan misalnya, hak suara seorang manajer sama dengan hak suara seorang office boy. Suara keduaya harus sama-sama didengar. Keduanya harus diberi hak yang sama untuk menemukakan pendapat. Pendapat siapapun, terlepas dari jabatan atau golongan ekonominya, haruslah dihormati. Karena bukankah itu yang dulu kita pelajari semasa SD, menghormati orang lain.

2. Peduli
Tujuan koperasi dibentuk bukan hanya untuk anggota, akan tetapi tujuannya juga untuk masyarakat. Koperasi tidak cukup hanya mengeluarkan dana sosial seperti membayar sedekah. Harus ada upaya untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Kepedulian itu tidak hanya berbentuk uang, bisa berbentuk kerja, waktu dan pemikiran. Juga bukan hanya pengurus yang punya tanggung jawab membangun ekonomi masyarakat, anggota pun punya tanggung jawab yang sama. Misalnya, anggota mengadakan baksos di daerah kurang mampu, mengadakan gotong royong di lingkungan yang kumuh, kalau anggotanya cerdas-cerdas maka bisa melakukan penyuluhan, pendidikan gratis, dan sebagainya. Itu semua adalah bentuk kepedulian koperasi terhadap masyarakat. Bentuk kepedulian anggota untuk mensejahterakan masyarakat.

3. Gotong royong
Apalah koperasi tanpa gotong royong, tidak akan ada, bangkrut. Bantu-membantu, bahu-membahu, itulah koperasi. Usaha yang didirikan dan dikelola bersama-sama. Jika anggota menyerahkan semua persoalan kepada pengurus, dan hanya mau tahu beres. Itu namanya korporasi, bukan koperasi. Di koperasi semua bekerja, semua berkontribusi, semua berpikir. Seperti  layaknya beragama, agama tidak akan hidup jika yang diserahkan untuk menghidupkan agama hanya para ulama, kyai, dan ustadz. Agama agar hidup harus dihidupkan pula oleh segenap pemeluknya tanpa memandang status, jabatan dan kekayaan. Begitu pun koperasi dihidupkan oleh anggotanya secara gotong-royong.

Siapa yang bertanggung jawab mengedukasi anggota? Apakah pengurus? Kembali lagi pada perumapaan tentang agama. Siapa yang bertugas menyebarkan agama? Para Nabi dan Rasul? Jika begitu, siapa yang menyebarkan agama di Indonesia? Padahal di Indonesia tidak turun Nabi dan Rasul. Jawabannya adalah seluruh pengikut Nabi Muhammad punya kewajiban menyebarkan agama, karenanya Islam yang tadinya dibawa dari timur tengah bisa sampai ke Indonesia, melalui perantaraan orang-orang biasa, para pedagang. Begitu pun di koperasi, yang punya tanggung jawab mendidik anggota memang utamanya terletak di pundak pengurus, namun tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pengurus. Anggota pun harus ikut serta mengedukasi sesamanya. Anggota yang sudah lebih paham membimbing anggota lain yang kurang paham. Anggota yang sudah tahu memberi tahu anggota yang belum tahu.

Koperasi punya yang namanya dana pendidikan, tapi belum banyak yang paham filosofi dari adanya alokasi dana pendidikan. Ada koperasi besar yang dana pendidikannya 5% dari SHU yang didapat tiap tahunnya. Karena tidak tahu dana pendidikan ini mau dibuat apa, maka dana pendidikan yang 5% ini dibagi secara tunai kepada anggota dengan nama 'tunjangan pendidikan', padahal tahu sama tahu uang tersebut untuk keperluan konsumtif. Dana pendidikan adalah untuk pendidikan seluruh komponen koperasi; Pengawas, pengurus, pengelola, karyawan, sampai anggota. Memanggil pembicara yang berpengalaman di dunia perkoperasian, memanggil motivator, memanggil penceramah, untuk itulah sebenarnya alokasi dana pendidikan. Untuk membangun sikap, budi pekerti, knowledge dan skill. Bukan untuk dibagikan tunai!

Program kerja yang jarang sekali diagendakan oleh pengurus koperasi adalah menseleksi anggota-anggota potensial yang bisa dididik sebagai kader-kader koperasi. Mereka inilah yang akan jadi provokator bagi para anggota lainnya untuk lebih berperan aktif di koperasi, mereka adalah teladan atas sikap-sikap yang harus ditunjukkan seorang anggota koperasi. Kader-kader koperasi ini baru bisa diberikan tunjangan pendidikan, untuk memotivasi mereka belajar dan mengajar. Belajar mengenai koperasi dan mengajarkannya kepada anggota yang lainnya. Dengan adanya kader-kader koperasi seperti ini tugas pengurus akan lebih mudah, dari orang ke orang, seperti direct selling.

Intinya mengedukasi anggota adalah menyadarkan anggota akan perannya sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Membentuk sikap dan budi pekerti yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi. Koperasi bisa jadi sekolah kedua bagi kita-kita yang sudah menyelesaikan sekolah atau kuliah. Di koperasi bisa jadi kita belajar apa yang tidak dipelajari di pendidikan formal. Koperasi tanpa pendidikan anggota = stagnan. Koperasi yang mengabaikan pendidikan kepada anggota = Koperasi ecek-ecek.

kontributor : Rizki Ardi

Jangan Jadi Pengawas Koperasi yang Ecek-Ecek

Fungsi pengawas dalam koperasi merupakan salah satu fungsi penting di koperasi, sampai harus dicantumkan dalam undang-undang perkoperasian. Sayangnya  fungsi pengawas di banyak koperasi belum terlalu optimal, bahkan ada yang tidak berjalan sama sekali.

Mengawasi koperasi bukan hanya mengawasi hasil pengelolaan koperasi di akhir tahun. Mengawasi koperasi berarti mengawasi proses (bukan sekedar hasil) pengeloaan koperasi sepanjang tahun. Anggapan yang salah jika pengawas menemukan banyak temuan di akhhir tahun maka pengawas telah melakkan pekerjaannya dengan baik. Justru sebaliknya, pengawas yang seperti itu tidak lain seperti oknum polisi yang bersembunyi menunggu pelanggar lalu lintas. Pengawas yang baik adalah pengawas yang dapat mengantisipasi penyelewengan, penyalahgunaan di koperasi jauh-jauh hari sebelum penyelewengan itu terjadi.

Seringkali pengawas bukanlah orang yang mempunyai keahlian untuk mengawasi, tidak punya keahlian auditing. Kurang bisa memprediksi dan membaca kejanggalan yang ada di organisasi. Mungkin pengawas dipilih karena kejujuran dan integritasnya, namun itu saja tidak cukup. Perlu dibarengi dengan kemampuan. Karenanya tidak mengapa jika pengawas mempekerjakan tenaga ahli di bidang pemeriksaan dan auditing untuk mengawasi koperasi. Tenaga ahli yang dipekerjakan bisa bersifat sewaktu-waktu, setiap beberapa bulan sekali. Dan bisa menggunakan jasa auditor atau konsultan. Atau mengangkat staf khusus dewan pengawas yang ditugaskan memonitor jalannya koperasi, day by day.

Struktur koperasi disusun sedemikian rupa, ada pengurus dan pengawas. Dua komponen ini yang satu sebagai pelaksana, dependent, berpikir in the box. Yang satu sebagai pengawas, independen, berpikir out of the box. Dengan adanya dua komponen ini yang bekerja optimal dan saling berkolaborasi, maka saya optimis koperasi berpeluang sangat besar untuk maju. Justru ide-ide bisa datang lebih banyak dari pengawas daripada pengurus atau pengelola. Mengapa? Karena pengurus dan pengelola sehari-hari sudah sibuk menghadapi rutinitas dan tantangan yang ada di dalam koperasi, tidak punya banyak waktu untuk mencari ide segar atau memandang dari perspektif berbeda. Sedangkan pengawas tidak punya beban tanggung jawab untuk melaksanakan, sehingga lebih punya keleluasaan dalam memandang koperasi dari berbagai perspektif. Boleh dikata pengawas bisa berperan sebagai bagian R&D (Research and Development) dari suatu koperasi.

Kapan pengawas harusnya mengawasi koperasi? Akhir tahun? Sudah tidak zaman. Mana bisa koperasi maju dan berkembang jika pengawasnya seperti itu. Sebaiknya pengawas yang seperti itu, yang aktif ketika akhir tahun saja, segera diganti tanpa menunggu masa jabatannya selesai. Koperasi perlu pengawas yang aktif, yang mengawasi koperasi secara rutin. Setiap bulan, setiap hari jika perlu. Sehingga penyimpangan-penyimpangan, bahkan baru indikasi dan gejala penyimpangan pun bisa diketahui tanpa harus menunggu koperasi mengalami kerugian. Tidak ada salahnya kan pengawas punya staf khusus yang bekerja satu kantor dengan pengurus dan pengelola koperasi. Staf tersebut berada langsung dibawah koordinasi dewan pengawas dan diberi delegasi serta wewenang untuk memeriksa hal-hal yang perlu dijaga.

Peran pengawas itu ibarat wasit dalam pertandingan sepak bola. Pengawas bukan penonton yang melihat pertandingan sepak bola dari bangku stadion. Pengawas adalah wasit yang berada di tengah lapangan, melihat secara dekat bagaimana permainan dijalankan. Mengikuti kemanapun bola menggelinding, berlari mengikuti bola. Lelah? Ya pasti, tapi memang itu tugasnya wasit, berlari kesana kemari, jangan jadi wasit jika malas berlari. Begitupun pengawas, harus aktif, mengikuti setiap kebijakan pengurus, mengawal setiap target yang ditentukan. Cape? Ya pasti, tapi memang itu tugasnya pengawas, matanya harus tajam, otaknya harus berputar, jangan jadi pengawas jika malas memutar otak.

Dan seperti wasit, meskipun berada di tengah lapangan, di tengah permainan. Keberadaannya tidak mengganggu permainan itu sendiri, tidak menghalangi kemana jatuhnya bola, tidak mengintervensi permainan selama dalam batas-batas aturan. Seperti itu juga pengawas, meskipun tugasnya mengawasi, jangan sampai mengganggu jalannya kerja pengurus, apalagi mengintervensi yang tidak perlu. Pengawas pun harus tahu batas-batasnya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Oleh karena itu pengawas pun harus mengerti manajemen, keuangan, akuntansi. Jangan sampai ada pengawas yang bertanya seperti ini. 'Itu kok akumulasi penyusutan aktiva nilainya negatif?'. Pengurus yang tidak paham manajemen, keuangan, apalagi akuntansi itu sama saja seperti wasit yang tidak mengerti peraturan sepak bola. Tidak usah menjadi wasit, jadi penonton saja.

Koordinasi antara pengawas dan pengurus juga vital untuk dilakukan. Perlu ada rapat rutin antara pengurus dan pengawas. Bukan rutin setahun sekali, minimal rutin setiap tiga bulan sekali. Berkaitan dengan rapat pengawas dan pengurus. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan :

  1. Sebelum rapat, pengawas harus mempelajari materi rapat yang akan dibahas. Pelajari laporan keuangan, laporan realisasi kerja, laporan temuan. Sehingga waktu rapat yang terbatas dapat digunakan seefektif mungkin. 
  2. Buat prioritas pembahasan. Mana pembahasan yang paling penting untuk dibahas atau ditanyakan ke pengurus, mana yang masih bisa dibelakangkan. Fokus pada materi-materi yang menjadi menjadi prioritas. Jangan buang waktu untuk membahas hal-hal yang tidak prinsipil, seperti redaksi bahasa.
  3. Sediakan waktu yang cukup. Jika materi pembahasannya banyak, alokasikan waktu satu hari penuh atau kalau perlu dua hari penuh. Target rapat adalah agar materi pembahasan selesai dibahas semuanya, bukan target 'jam sekian rapat harus selesai'. Ketika pertama kali dilantik menjadi pengawas, saat itu juga harus disadari bahwa perlu ada pengorbanan waktu yang tidak sedikit.
  4. Setiap rapat harus menghasilkan tindak lanjut atau action plan yang jelas. Jangan ada rapat yang isinya hanya pembahasan dan pembicaraan lantas setelahnya tidak jelas apa yang mesti dilakukan. Rapat adalah sebuah proses dan hasilnya adalah action plan, rencana tindakan. Rapat tanpa rencana tindakan sama saja dengan proses tanpa hasil.

Audit rutin pun perlu dilakukan minimal setiap tiga bulan sekali. Ada audit intern oleh pengawas, setiap tiga bulan atau satu bulan sekali. Dan ada audit extern oleh auditor external setiap satu tahun sekali. Yang di audit pun tidak melulu tentang keuangan. Pengawas perlu belajar melihat performa organisasi bukan hanya dari segi keuangan, ada sisi lain yang perlu dilihat. Jika mengacu pada teori Balanced Score Card, ada tiga perspektif lain yang juga perlu diperhatikan dan diaudit, selain persepektif keuangan. Yaitu persepektif customer, internal process, dan learning & growth. Sebaik apa koperasi melayani pelanggannya, itu perlu diaudit. Seberapa efisien proses bisnisnya, itu juga perlu diaudit. Terakhir, apakah ada aktivitas pembelajaran dan pertumbuhan dalam koperasi, itu juga perlu di audit.

Tentunya jarang sekali ditemukan pengawas yang memiliki keahlian di bidang akuntansi, auditing, atau teknik pengawasan. Oleh karena itu pengawas jangan malas-malas belajar. Tugas pertama ketika diangkat menjadi pengawas bukan langsung mengawasi, pertama kali yang dilakukan adalah belajar bagaimana mengawasi. Belajar apa-apa yang belum diketahui. Kalau belum bisa baca laporan keuangan, belajar baca laporan keuangan. Jangan gengsi untuk belajar, kalau tidak tahu bilang tidak tahu, kalau tidak bisa bilang tidak bisa, kalau tidak mampu bilang tidak mampu. Jangan karena gengsi saudara, koperasi justru yang jadi korbannya. Punya pengawas yang tidak kompeten.

Hubungan antara pengurus dan pengawas adalah orang yang tidak terikat kepentingan (utang budi) terhadap pengurus. Jangan sampai pengawas tersandera oleh pengurus sehingga keobjektifan penilaian dan pengawasan menjadi tidak ada lagi. Integritas pengawas harus dijaga, pengawas adalah KPK bagi pengurus. Jangan sampai KPK nya pun ikut korupsi, kolusi dan nepotisme. Integritas dan objektivitas itu harus benar-benar dijaga.

Apa filosofi, tujuan, fungsi dan prinsip koperasi, pengawas juga harus tahu. Sebagai komponen koperasi yang namanya tercantum dalam struktur organisasi koperasi, akan sangat disayangkan jika tidak mengerti seluk beluk organisasi dimana ia berada. Akan memalukan sekali jika pengawas tidak tahu prinsip koperasi apa saja. Akan terlihat bodoh sekali jika pengawas tidak tahu isi anggaran dasar koperasi. Koperasi is not just usual business, it's a business and it's social. Jangan hanya tahu segi bisnisnya lantas mengapaikan sisi sosialnya. Pengawas adalah perpanjangan tangan Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, tugas pengawas adalah memastikan bahwa visi Bung Hatta yang besar itu diterapkan di koperasi saudara-saudara sekalian.

Pengawas harus satu visi dengan pengurus. Ada tujuan bersama yang hendak dicapai. Ketika pertama kali pengawas dan pengurus dilantik, tugas yang tak kalah pentingnya adalah menyamakan visi, menyamakan persepsi akan dibawa kemana koperasi ini. Melalui jalan apa kita akan mencapai tujuan tersebut. Itu harus sudah dibahas dan dipertemukan di awal masa jabatan. Janganlah ketika ditengah masa jabatan baru ada perseteruan mengenai arah, tujuan dan jalan yang dilalui koperasi. Jika koperasi adalah balap rally, pengurus adalah pengemudinya, pengawas adalah navigatornya. Sudut pandangnya memang berbeda, dan pasti berbeda. Tapi kemana akan menuju, melalui jalan apa, harus ada kesatuan pendapat. Tugas navigator salah satunya adalah mengingatkan pengemudi jika ia salah jalan.

Masukan, saran, pertanyaan, dan kritik dari pengawas ke pengurus haruslah yang bersifat membangun, bukan bertujuan menjatuhkan. Dari niat sudah benar-benar dijaga, niatnya adalah mengawasi jalannya koperasi, bukan mencari kesalahan pengurus koperasi. Mencari kesalahan itu mudah, ikut membantu mencari solusi itu yang sulit. Yang tidak semua orang bisa dan mau. Niat ini memang tidak bisa dilihat, tapi indikatornya bisa dilihat. Bila pengawas hanya memberikan pertanyaan, kritik, menunjukkan kesalahan-kesalahan, saran, dan sebagainya, tanpa ada upaya untuk ikut serta memberi solusi atau membantu, maka bisa dipastikan niatnya kurang lurus. Niat yang baik tercermin dari kesediaan berkorban, memberikan waktu, energi, tenaga, dan pemikiran. Jika yang berani dikorbankan cuma kata-kata, atau modal omongan. Motivasi pengawas koperasi seperti ini perlu dipertanyakan.

Jangan jadi pengawas koperasi yang ecek-ecek.

Kontributor : Rizki Ardi

7 Kriteria Pengurus Koperasi yang Ideal

Pemimpin yang (hanya) bermodalkan popularitas adalah pemimpin yang berbahaya. Justru disitulah letak kelemahan kebanyakan koperasi. Dengan prinsip koperasi satu orang satu suara, yang kebanyakan diartikan sebagai voting. Pengurus yang terpilih adalah orang yang paling banyak mendapat suara. Yang paling populer, dan belum tentu yang paling kompeten atau paling berpengalaman.

Berapa banyak koperasi yang menyelenggarakan pemilihan pengurus dengan menyelenggarakan fit and proper test terlebih dahulu? Dimana ada sekelompok orang yang independen dan ahli menilai kecakapan calon pengurus, sejauh mana integritasnya, keahlian memimpin, jiwa kewirausahaannnya, kemampuan manajerial dan pengetahuan tentang koperasi. Pengurus adalah top managementnya koperasi, CEO nya koperasi. Jika memilih CEO sudah dilakukan sembarangan, tanpa ada fit and proper test, jangan harap organisasi bisa melesat cepat. Setidaknya ada beberapa kriteria yang perlu dimiliki oleh calon pengurus koperasi agar dirinya layak dipilih menjadi pengurus. Antara lain :

1. Berani
Sejauh mana pengurus berani mengambil resiko? Jangan memilih orang yang hanya cari aman untuk jadi pengurus koperasi. Bisa stagnan koperasinya. Bisnis erat kaitannya dengan resiko, siapa yang tidak berani mengambil resiko, jangan berbisnis. Siapa yang tidak bisa berbisnis, jangan dipilih menjadi pengurus.

Sejauh mana pengurus berani mengkonfrontasi orang-orang yang menghalangi perkembangan koperasi? Untuk berkembang, koperasi perlu berubah. Dan dalam perubahan pasti ada orang-orang yang menentang, orang-orang yang berdiri menghalangi di tengah jalan mencapai tujuan. Apakah pengurus berani menghadapi orang-orang seperti itu? Jika tidak berani, jangan pilih orang tersebut sebagai pengurus.

Sejauh mana pengurus berani menghadapi kritikan dan cemoohan orang lan? Jangan memilih pengurus yang ragu-ragu mengambil keputusan hanya karena banyak orang tidak suka. Jika suatu keputusan sudah dipertimbangkan dengan matang, dan itu benar adalah untuk kepentingan koperasi. Meskipun mendapat kritikan dan cemoohan, pengurus harus tetap maju. Berani menghadapi kritikan dari orang-orang yang kurang mengerti. Seorang pemimpin harus berani untuk tidak populer. Karena pastinya akan banyak keputusannya yang efeknya baru dinikmati jangka panjang. Orang-orang yang mengkritik ini biasanya yang mau segala sesuatunya instant, langsung terlihat hasilnya. Padahal kan membangun koperasi supaya besar tidak bisa hanya dengan satu atau tiga tahun.

2. Punya integritas yang tinggi
Integritas berarti walk the talk and talk the walk. Melakukan apa yang ia katakan dan mengatakan apa yang ia lakukan. Bukan cuma orang yang omdo (omong doang) atau NATO (No Action Talk Only). Orang yang punya prinsip dan nilai yang dipegang teguh. Orang lain tahu karakter orang tersebut jika menghadapi tekanan seperti apa, jika menghadapi masalah seperti apa. Orang yang tidak mudah terombang-ambing oleh issue atau pendapat mayoritas.

Biasanya orang yang religius, dekat dengan Allah, rajin shalat berjamaah tepat waktu di masjid itu bisa jadi indikator bahwa orang tersebut punya integritas. Mengapa? Karena kalau prinsip agama sudah dipegang dengan kuat, insyaallah prinsip-prinsip yang bagus seperti prinsip sabar, bersyukur, ikhlas udah ada di dalam agama semua. Sebaliknya orang yang tidak mengamalkan agama dengan benar, jangankan amanah dari manusia, amanah dari Tuhannya saja tidak dijlankan dengan baik.

3. Berjiwa wirausaha
Berjiwa wirausaha identik dengan tahan banting, kreatif, mandiri, tidak mudah putus asa. Pilihlah pengurus yang jika memungkinkan punya pengalaman membangun bisnisnya sendiri. Pilihan terakhir adalah pengurus yang seumur hidup jadi orang gajian, agak sulit untuk menjadikan orang seperti ini untuk jadi pengurus. Minimal perlu diikutkan workshop dan pelatihan kewirausahaaan.

Menjadi seorang wirausahawan memang bukan panggilan hidup semua orang, memang ada beberapa orang yang panggilan hidupnya menjadi karyawan. Menjadi seorang wirausahawan dan memiliki jiwa wirauaha itu hal yang berbeda, seseorang yang berstatus karyawan bisa saja memiliki jiwa wirausaha, memiliki karakteristik seorang wirausahawan. Sebaliknya seorang pemilik usaha juga belum tentu orang yang memiliki jiwa wirausaha, bisa jadi ia membuka usaha tersebut karena tidak ada pilihan lain, atau usahanya adalah warisan keluarga, dan punya usaha tapi tidak berkembang. Orang seperti itu memang punya usaha sendiri tapi belum bisa disebut punya jiwa wirausaha.

Jiwa wirausaha itu bukan bakat atau bawaan yang dimiliki orang tertentu saja. Jiwa wirausaha bisa dipelajari dan dipupuk. Karenanya jika memang pilihan pengurus tidak ada yang berjiwa wirausaha, maka pilihlah orang-orang yang memiliki karakter pembelajar. Kalaupun pengurus belum memiliki jiwa wirausaha, ia dapat belajar.

4. Berjiwa pemimpin
Pengurus adalah pimpinan tertinggi di koperasi, satu level dengan CEO dan Direktur Utama suatu perusahaan. Dan koperasi adalah perusahaan juga. Maju mundurnya suatu peruashaan sebagian besar terletak pada eksekutif tertingginya. Kemajuan perusahaan salah satunya terletak pada kemampuan sang eksekutif tertinggi untuk mengelola sumber daya yang ada secara benar. Sumber daya apa yang paling penting bagi sebuah organisasi? Tidak lain adalah manusianya. Dan bagaimana mengelola sumber daya manusia yang paling efektif? Adalah dengan memimpin. Bukan sekedar menyuruh atau memerintah. Pengurus must know how to lead effectively.

Secara struktural, di bawah pengurus ada pengelola koperasi. Pengelola koperasi lah yang menjalankan sebagian besar bisnis dan operasional koperasi, lebih dari 90% jalannya roda koperasi ada di pengelola. Bisa dianalogikan pengurus dan pengelola adalah seperti supir dan mobilnya. Supir yang hebat membutuhkan mobil yang hebat, begitu pula sebaliknya. Supir yang piawai dengan mobil yang payah hanya akan membuat repot dan frustasi si supir. Sebaliknnya, mobil canggih dengan supir yang asal supir akan menyia-nyiakan potensi yang ada di mobil, fitur-fitur yang canggih menjadi tidak berguna, dan ketika mobil tersebut mengalami masalah si supir tidak mampu menanganinya.

Seorang pengurus ibarat seorang supir. Ia harus tahu karakteristik mobil yang ia kendarai, tahu apa saja fitur-fiturnya, mengunakan fitur tersebut dengan semaksimal mungkin, memperhatikan pemeliharaan kendaraannya. Seorang supir yang baik tahu bahwa semakin canggih sebuah mobil semakin tinggi biaya pemeliharaannya, semakin si supir dituntut untuk lebih perhatian. Intinya seorang pengurus bukanlah seseorang yang dituntut harus tahu segalanya tentang seluk beluk pengelolaan koperasi, pengurus adalah seseorang yang bisa memimpin orang lain agar bisa mengelola koperasi dengan benar.

Kepemimpinan punya dasar-dasar, prinsip-prinsip dan gaya kepemimpinan yang macam-macam. Itu yang harus dimiliki oleh pengurus koperasi.

5. Punya kemampuan manajerial
Koperasi sekarang ini tidak bisa asal kelola, tidak bisa asal jalan. Kalau prinsipnya masih seperti itu, tergusur sudah koperasi dengan perusahaan-perusahaan swasta. Membuka minimarket jangan sekedar buka minimarket, jangan hanya sebagai syarat 'disini ada koperasi'. Membuka minimarket harus tahu ilmunya, ada yang namanya manajemen retail. Bagaimana mencari pemasok, bagaimana mengelola saluran distribusi, bagaimana menata barang dagangan, pricing, promosi, customer service dan lain-lain.

Mengurus koperasi pun seperti itu, jangan asal mengurus tanpa ada ilmunya. Ada yang namanya ilmu manajemen, bagaimana caranya merencanakan sesuatu agar efektif, bagaimana mendelegasikan, bagiamana membagi perusahaan kedalam fungsi-fungsi kerja, dan lain-lain. Sangat menguntungkan sekali jika ada kandidat pengurus yang memiliki latar belakang manajemen. Namun jika pilihan kandidat pengurus yang ada tidak ada yang berlatar belakang manajemen, maka sekali lagi pilihlah pengurus yang punya karakeristik pembelajar. Agar ia dapat mempelajari ilmu manajemen.

6. Mengerti tentang perkoperasian
Adakah pengurus yang tidak tahu tujuan dan prinsip koperasi? Banyak. Mengapa saya bilang begitu, karena umumnya pengurus hanya berfokus pada cara mengembangkan dan membesarkan koperasi, dari segi finansial. Tanpa memperhatikan jiwa dari koperasi. Pengurus yang seperti ini akan membawa koperasi tidak bedanya dengan perusahaan-perusahaan swasta,   hanya bertujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tujuan koperasi adalah mensejahterakan anggota dan masyarakat. Pengurus harus bertanya 'apa kontribusi koperasi saya dalam mensejahterakan anggota? Apa kontribusi koperasi saya dalam mensejahterakan masyarakat?' Prinsip koperasi salah satunya adalah 'kemandirian'. Pengurus harus bertanya 'Apakah hidup koperasi masih bergantung pada pihak tertentu yang bukan anggota? Jika jawabannya iya, maka koperasi belumlah mandiri. Dan pengurus perlu mengambil langkah-langkah agar prinsip kemandirian koperasi dapat dijalankan.

Kalau pengurus saja tidak paham mengenai koperasi, bagaimana bisa mengharapkan anggota paham mengenai koperasi. Padahal kepahamaan anggota terhadap prinsip dan nilai koperasi adalah hal yang vital, yang membuat koperasi menjadi koperasi.

7. Punya keahlian interpersonal yang baik
Pendidikan perkoperasian adalah salah satu prinsip koperasi. Sasaran pendidikan ini terutama adalah anggota, karena anggota lah secara bersama-sama yang menentukan jalannya koperasi. Pendidikan perkoperasian ini tidak dilakukan dengan sekali atau beberapa kali memberikan penyuluhan atau seminar umum. Pendidikan koperasi akan jauh lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan personal dan berangsur-angsur. Mendekati dan memberikan pemahaman tentang koperasi kepada orang per orang, kelompok per kelompok. Disinilah peran keahlian interpersonal. Bagaimana pengurus dapat memengaruhi para anggota koperasi untuk bersama-sama memajukan koperasi.

Dari ke tujuh kriteria di atas, populer tidak masuk diantaranya. Karena kualitas 'populer' tidak mesti positif. Bisa saja seseorang populer karena terkenal dengan sikap negatifnya. Bisa saja seseorang populer karena cuma banyak omong atau sekedar pandai membangun citra tapi isinya kosong. Popularitas bukanlah kriteria yang harus dicari, popularitas hanyalah konsekuensi dari prestasi.

Anggota harus lebih jeli dalam memilih pengurus, pilihalah berdasarkan kualitas individu bukan popularitas. Karena koperasi dijalankan dengan mengandalkan kualitas seseorang, keberaniannya, integritas, semangat wirausaha, kepemimpinan, kemampuan manajerial, pemahaman terhadap koperasi dan kemampuan intrapersonal. Bukan dengan modal terkenal. Panitia pemilihan pengurus pun harus benar-benar melakukan seleksi, jangan hanya sekedar voting, harus ada fit and proper test. Jadi calon-calon yang diajukan menjadi pengurus dalam rapat anggota adalah benar-benar calon yang sudah teruji kualitasnya.

Keseriusan suatu organisasi untuk berkembang ditandai dengan keseriusan dalam memilih pimpinan tertingginya. Sudahkan koperasi saudara memilih pengurus dengan serius berdasarkan kualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas. Jadilah koperasi yang serius, yang maju dan berkembang, jangan jadi koperasi ecek-ecek.

kontributor : Rizki Ardi

Sekolah Menengah Koperasi

Anda pernah dengar Sekolah Menengah Koperasi? Jika belum, coba Anda lakukan pencarian "Sekolah Menengah Koperasi" di google. Yang muncul di halaman pertama adalah terkait dengan sejarah koperasi. Ya, sejarah... Sekolah itu kebanyakan sekarang hanya tinggal sejarah. Yang saya dapat dari google lagi, yang tersisa dari Sekolah Menengah Koperasi ada di Yogyakarta. Tidak tahu apakah ada di daerah lain juga. Sebaiknya sekolah ini ada di tiap-tiap provinsi. Artikel mengenai sekolah menengah koperasi yang ada di google kebanyakan membahas bahwa gagasan sekolah ini pernah dianjurkan Bung Hatta pada Kongres Koperasi Indonesia ke-III. Begini tepatnya apa yang disampaikan beliau :

"Kemudian, majunya koperasi bergantung sebagian besar kepada kader pemimpin yang jujur dan cakap. Inilah yang banyak kurang di waktu sekarang.

Oleh karena itu gerakan koperasi hendaklah mengambil inisiatif mengadakan Sekolah Menengah Koperasi yang sederajat dengan SMA yang daftar pelajarannya sesuai dengan cita-cita koperasi.

Memang ada sekolah menengah ekonomi yang sederajat dengan SMA akan tetapi sifatnya banyak menuju kepada pelajaran dagang. Bukan di situ tempat mendidik pemangku dan pemimpin koperasi. Perniagaan bukan tujuan bagi koperasi, itu hanya suatu jalan yang tak dapat dielakkan. Ekonomi koperasi berlainan sifatnya daripada ekonomi dagang. Sungguh pun banyak terdapat di dalamnya dasar-dasar keekonomian yang sama. Didikan koperasi harus banyak berdasar kepada humanisme dan pengertian tentang gotong royong dalam sejarahnya dan perkembangannya.

Bulatkan tekad pada hari Koperasi III ini untuk mendirikan Sekolah Menengah Koperasi atas biaya gerakan koperasi sendiri. Pendirian sekolah semacam itu adalah suatu penanaman modal yang pasti menghasilkan buah di masa datang."

Sungguh disayangkan di masa ini tidak Sekolah Menengah Koperasi sudah tidak ada gaungnya lagi. Bahkan saya baru tahu istilah tersebut setelah membaca buku 'Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun'. Bagaimana koperasi bisa berkembang jika kader-kadernya tidak disiapkan, jika tidak ada usaha dari gerakan koperasi maupun pemerintah untuk mendidik generasi muda yang kelak akan memimpin dan mengelola koperasi. Kebanyakan pengurus dan pengelola koperasi sekarang adalah orang-orang dadakan, orang-orang yang terdampar di koperasi, tidak sengaja berkecimpung di koperasi.

Cita-cita yang tinggi memerlukan usaha yang sengaja dan sungguh-sungguh. Bagaimana cita-cita koperasi yang tinggi dapat tercapai jika belum ada usaha yang sengaja dan sungguh-sungguh untuk mendidik kader-kader yang mengerti betul mengapa, apa dan bagaimana koperasi itu.

Jika ada saudara yang membaca tulisan ini memiliki kemampuan atau kewenangan untuk mewujudkan himbauan Bung Hatta tersebut. Baik saudara yang bekerja di Kementrian Koperasi, Kementrian Pendidikan, atau saudara yang punya modal dan peduli pada koperasi. Saya siap ikut andil dalam mewujudkan Sekolah Menengah Koperasi ini.

kontributor : Rizki Ardi

Kapan Koperasi Bisa Self Financing?

"Sungguh pun begitu, orang yang mempunyai keyakinan tak boleh patah hati melihat tingginya gunung yang harus didaki, sebelum kita sampai kepada cita-cita kita. Kekuatan kita akan bertambah dengan tingginya gunung yang didaki, kesanggupan kita akan lebih besar, asal kita tetap berpegang pada self-help. Satu waktu koperasi Indonesia harus memperlihatkan kesanggupannya akan self financing, membelanjai diri sendiri."

Sudahkah 'satu waktu' itu tercapai saat ini? Dengan malu saya menjawab 'Belum, masih jauh'. Bahkan yang tadinya koperasi memiliki bank sendiri pun, Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), sekarang kepemilikannya pun sudah dibagi dengan swasta. Jalan panjang yang entah siapa lagi berani memulai setelah kegagalan di masa lalu. Entah siapa yang berani mengorbankan dirinya, menyusahkan diri untuk memperjuangkan pembiayaan mandiri bagi koperasi-koperasi di Indonesia. Di tengah derasnya lembaga-lembaga keuangan swasta yang besar-besar, bahkan raksasa.

Kapan uang koperasi bisa berputar di koperasi itu sendiri, tidak lantas merembes ke bank-bank swasta. Self-financing koperasi ibarat bercita-cita setinggi langit, namun bukankah itu yang diajarkan oleh orang tua dan guru kita; gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Apakah kita terlalu takut jatuh sampai-sampai kita tak berani mencita-citakan langit.

Saya yakin suatu saat pasti koperasi bisa self-financing. Kelak akan ada orang-orang hebat, pemikir-pemikir brilian, eksekutor-eksekutor ulung, pemimpin-pemimpin yang visoner, yang akan membawa koperasi ke masa kejayaannya. Membangun koperasi yang pada ujungknya koperasi dapat membangun bangsa. Pada suatu titik orang akan jenuh memikirkan kesejahteraannya dirinya sendiri. Pada suatu saat orang akan mulai berpikir bahwa pemerataan kesejahteraan adalah jauh lebih penting. Suatu masa orang akan menemukan jawabannya di koperasi. Dan suatu saat, suatu masa itu bisa jadi dimulai sekarang.

kontributor : Rizki Ardi

Sudahkah Rakyat Kita Mempunyai Rumah Sendiri?

"Sudahkah tiap-tiap desa mempunyai lumbung padi? Sudahkah ada gilingan padi kecil dan modern pada tiap-tiap kecamatan? Sudahkah berkembang perternakan di kalangan rakyat dengan diimbangi oleh koperasi susu, koperasi telur dan lain-lainnya? Sudahkah terlaksana di mana kebun sayur dengan koperasinya? Sudahkah bangun dengan merata berbagai koperasi pertukangan dan kerajinan? Sampai di manakah hasil yang diperoleh dengan koperasi memberantas ijon dan lain-lainnya? Dan sudahkah rakyat kita mempunyai rumah sendiri?"

Tahukah Anda kapan dan oleh siapa pertanyaan itu dilontarkan? Pertanyaan itu dilontarkan 62 tahun yang lalu oleh Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Hatta. Apakah pertanyaan tesebut sudah bisa kita jawab dengan jawaban 'Iya'? Saya rasa kita terlalu malu untuk memberikan jawabannya. Terlalu panjang alasan yang kita berikan setelah jawaban 'belum'.

Bahkan jawaban yang kita mampu berikan lebih pahit dibanding sebuah kata 'belum'. Sebagian kecil masyarakat Indonesia, memiliki rumah lebih dari satu, merenovasi rumah dengan kemewahan yang tidak perlu, memiliki kamar-kamar yang tidak pernah mereka tempati. Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia belumlah punya rumah, masing ngontrak di petakan yang cuma satu kamar dengan beberapa orang anak, satu-satunya renovasi yang terpikir oleh mereka adalah memperbaiki atap yang bocor.

Bangsa kita memang tumbuh, sektor properti berkembang, tapi untuk siapa? Dari hari ke hari yang muncul ke permukaan lagi dan lagi hanyalah perumahan mewah, apartemen, kawasan elit. Siapa yang sanggup membeli itu semua? Mereka yang sudah punya rumah mewah di kawasan elit. Sebagian berkata 'Itu kan salah mereka, mereka tidak punya pendidikan, tidak bekerja keras, tidak menabung, tidak berinvestasi', sebagian besar yang berkata seperti itu bisa dipastikan mereka yang sudah punya rumah. Meskipun begitu, golongan yang belum punya rumah, apakah mereka tidak pantas dibantu?

Jalan keluarnya bukan hanya dengan mempermudah kepemilikan rumah bagi mereka yang belum punya. Jalan keluarnya adalah dengan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat banyak, memeratakan penghasilan, memberi akses kepada masyarakat terhadap kepemilikan di perusahaan-perusahaan. Memperbanyak koperasi sehingga pekerja tidak hanya mengandalkan gajinya sebagai buruh, tetapi juga mendapat fasilitas kepemilikan perumahan dari koperasi tempatnya bekerja. Bukan koperasi karyawan sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Melainkan koperasi yang pekerjanya merangkap sebagai pemiliknya.

kontributor : Rizki Ardi

Budi Pekerti Koperasi

Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengutip pidato Bung Hatta pada hari koperasi ke-3 tanggal 12 Juli 1953. Dalam kutipan pidato tersebut jelas sekali bahwa Bung Hatta lebih menekankan pendidikan nilai budi pekerti dalam berkoperasi, dibanding pencapaian rupiah semata. Berikut kutipannya :

"Pengalaman kita sehari-hari menunjukkan betapa sukarnya mendidik sifat dan budi pekerti yang dikehendaki itu. Itu adalah suatu pekerjaan yang meminta waktu, tetapi sebalinya juga berkehendak dikerjakan sekarang juga. Menyesuaikan program jangka pendek ke dalam program jangka panjang adalah suatu kebijaksanaan organisasi yang diperlukan.
Pokok dari segala-galanya ialah percaya dan yakin akan kebaikan masyarakat kooperatif dan sabar tetapi giat melaksanakannya berangsur-angsur. Ini menghendaki kekerasan hati yang tak kunjung patah!

Dari uraian saya ini jelaslah kiranya bahwa bukan semboyan yang muluk-muluk yang terutama perlu untuk mencapai masyarakat koperasi yang kita ciptakan melainkan amalannya yang berupa pendidikan atas diri sendiri dan perbuatan. Tak ada sifat yang lebih bertentangan dengan dasar koperasi daripada perasaan segala cukup. Kita harus membangun suatu dunia baru dari ramuan yang serba kurang. Dengan perasaan segala genap tak ada yang bangun sebab semua terasa sudah cukup. Di atas jalan menuju masyarakat kooperatif, belum ada yang sempurna sebab itu dasar kita bekerja ialah: mencapai perbaikan senantiasa!

Apa yang telah terasa baik sekarang, di kemudian hari sudah kurang baik rupanya oleh karena dunia selalu berada dalam perubahan. Janganlah pula ada di antara kita yang merasa sombong melihat hasil yang telah tercapai. Sikap yang harus dipakai dalam membangun koperasi mestilah sesuai dengan ilmu padi: semakin masak semakin runduk."

Mencari keuntungan itu mudah. Membangun manusia itu yang sulit. Mereka yang memutuskan untuk mengabdikan dirinya di jalan koperasi seperti Bung Hatta menyadari itu, bahwa jalan yang ada di hadapannya adalah jalan yang sukar dan berat. Yang sampai berpuluh-puluh tahun setelah beliau meninggal pun visinya belum terlaksana. Yang entah siapa lagi bersedia menempuh jalan yang sukar dan berat itu. Jalan yang bertambah-tambah beratnya ditengah-tengah masyarakat yang hanya mencari keuntungan pribadi.

Mereka yang menjadi entrepereneur adalah mereka yang hebat, mampu membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran. Lebih hebat lagi jika para entrepreneur itu membagi kepemilikan perusahaannya bersama para karyawan. Memilih bentuk perusahaan koperasi dibanding PT.

kontributor : Rizki Ardi

Lebih Mudah Mengelola PT daripada Membangun Koperasi

Mengapa lebih banyak badan usaha berbentuk PT daripada koperasi? Mengapa lebih banyak PT yang maju dibanding koperasi? Jawabannya sederhana, karena mengelola PT lebih mudah dibanding mengelola koperasi. Sebenarnya ini adalah perkara yang telah diramalkan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka oleh Bapak Koperasi Indonesia. Berikut kutipan pidato beliau :

"Saya seringkali memperingatkan bahwa lebih mudah mendirikan N.V. Daripada membangun koperasi. Untuk N. V yang perlu hanya mengumpulkan modal: pimpinan perusahaannya dapat diserahkan kepada orang lain yang berjiwa pertindak (ordernemer)."

Pada koperasi setiap anggota sebagai pemilik ikut serta bertanggung jawab, berpartisipasi aktif dalam membangun koperasi, tidak hanya menunggu pembagian profit koperasi di akhir tahun. Anggota tidak boleh masa bodo dengan koperasinya. Koperasi harus didukung oleh cita-cita sosial, yang tidak tumbuh dalam semalam, perlu waktu yang panjang untuk mendidik dan membina para anggotanya. Di koperasi yang diusahakan bukan hanya profit semata, bukan hanya bisnis, bisnis hanyalah jalan yang tak dapat dihindarkan oleh koperasi. Cita-cita koperasi yang paling utama adalah terwujudnya masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Apakah kemajuan dan keadilan semata-mata dapat dicapai dengan membesarkan keuntungan? Tidak. Masyarakat yang maju dan adil dicapai dengan pendidikan mental, pembinaan budi pekerti, disitulah fungsi koperasi. Itu mengapa salah satu prinsip koperasi adalah pendidikan perkoperasian. Bukan hanya pendidikan bagi orang-orang yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan koperasi, pengawas, pengurus, dan pengelola. Justru yang terpenting adalah pendidikan bagi anggota.

Coba Anda bandingkan dengan PT, pemegang saham sebagai pemilik menyerahkan sepenuhnya pengelolaan PT kepada jajaran direksi. Pemegang saham tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu profit PT di akhir tahun. Pemegang saham tidak perlu memikirkan bagaimana orang-orang yang ada di dalam PT mempunyai mental yang baik, budi pekerti yang luhur. Pemegang saham tidak perlu dididik mengenai nilai dan prinsip. Kalaupun ada pendidikan dan aktivitas sosial di dalam PT, jika ditelusuri maksudnya kembali lagi untuk mencari profit yang sebesar-besarnya atau sekedar menggugurkan kewajiban. Mengelola PT jauh lebih sederhana dibanding mengelola koperasi. Prinsipnya triple P, profit, profit, profit. Kalaupun muncul triple P yang baru (people, planet, profit) itu pun baru populer belakangan ini, dan baru sebagian perusahaan yang menerapkan. Di koperasi, prinsip triple P inilah yang menjadi prinsip koperasi. Seandainya orang-orang hebat, para direktur berpengalaman yang selama ini berkecimpung di PT mau mengorbankan dirinya dibayar dengan gaji yang tidak fantastis untuk membangun koperasi, maka alangkah cepatnya koperasi Indonesia dapat dibangun.

Mendirikan PT atau membangun koperasi? Menjadi eksekutif senior di PT atau menjadi pengurus koperasi? Itu kembali pada pilihan masing-masing orang.

Bagi Anda yang memilih untuk memaksimalkan keuntungan pribadi, yang memilih untuk tidak repot.  Bagi Anda yang ingin dibayar dengan gaji besar. Lebih baik mendirikan PT, bekerja di PT, jangan pernah terpikir untuk membuat koperasi. Repot dan uangnya tidak banyak. Pamornya pun kurang.

Bagi Anda yang lebih suka berbagi, ingin agar orang lain ikut sejahtera, mau repot, bersedia dibayar seadanya. Koperasi adalah jalan yang tepat. Bersiap menghadapi banyak tantangan ke depan, bukan hanya tantangan bisnis, melainkan tantangan untuk mendidik mental dan budi pekerti para anggota. Hasil yang Anda dapatkan kelak tidaklah besar jika dilihat dari segi keuangan. Tapi tahukah Anda seberapa besar balasan yang Allah berikan untuk orang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk orang banyak? Priceless.

kontributor : Rizki Ardi

Dimana Koperasi Bisa Tumbuh Subur?

Mengapa koperasi tumbuh subur di suatu daerah dan di daerah yang lain justru banyak yang berguguran? Apakah kultur masyarakat di suatu daerah berpengaruh terhadap perkembangan koperasi? Kultur seperti apa yang membuat koperasi bisa tumbuh subur?

Melalui tulisan ini saya mencoba menjawab pertanyaan diatas. Salah satu faktor yang  menjadi hambatan bagi perkembangan koperasi. Jawa Timur, merupakan provinsi dengan perkembangan koperasi yang paling baik. Banyak koperasi-koperasi besar tumbuh disana, seperti KJKS BMT UGT Sidogiri, Koperasi Warga Semen Gresik, KJKS BMT MMU Pasuruan. Sebaliknya di provinsi dimana saya tinggal, Banten, hanya ada sedikit koperasi besar yang ada. Terhitung hanya dua koperasi yang masuk 100 koperasi besar di Indonesia. Primkokas dan Koapgi. Orang jawa memang dikenal dengan budaya kolektivitasnya, gotong royong, peduli, empati. Kemungkinan besar hal itu yang membuat koperasi dapat tumbuh subur disana. Sedangkan di Banten, selama lebih dari 10 tahun disini, saya menilai kurang adanya budaya kolektivitas. Koperasi-koperasi besar yang tumbuh disini pun, sebagian besar anggotanya merupakan warga pendatang yang bekerja di daerah Banten.

Jadi kultur masyarakat di suatu daerah bisa sangat menentukan subur atau tidaknya koperasi di daerah tersebut. Jika masyarakat di suatu tempat sudah terbiasa bergotong royong, empati terhadap sesama, tidak mementingkan diri sendiri. Akan lebih mudah membangun koperasi di wilayah tersebut. Sebaliknya, budaya di suatu masyarakat yang lebih mementingkan kesuksesan individu dibanding kesuksesan bersama, maka akan sulit sekali koperasi berkembang disana.

Tujuan koperasi sendiri adalah mensejahterakan anggota dan masyarakat. Bukan mensejahterakan orang per orang atau golongan. Kalaupun anggota telah sejahtera, maka perlu diusahakan kesejahteraan bagi masyarakat yang lebih luas. Tidak lantas anggota sudah sejahtera, lalu dibuat kaya, padahal di samping-samping mereka masih ada masyarakat yang lebih membutuhkan. Masyarakat yang pola pikirnya saling berbagi adalah masyarakat yang potensial untuk didirikannya koperasi. Masyarakat seperti ini sudah menyadari bahwa kebahagiaan hidup tidak didapat hanya dengan memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya saja. Bahwa kebahagiaan hidup yang lebih hakiki terletak juga pada upaya kita untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain.

Di masyarakat yang semangat perseorangnya tinggi, konsumtif, saling bersaing untuk menjadi yang lebih. Koperasi perlu usaha keras bahkan untuk dapat bertahan. Meski begitu bukan mustahil juga koperasi bisa tumbuh di lingkungan seperti itu. Jika pengurus dan anggota koperasi yang ada giat mensosialisasikan makna berkoperasi, manfaat dan tujuan koperasi, prinsip koperasi. Dalam hati nurani setiap orang sudah ditanamkan rasa ingin berbagi, rasa untuk tidak menang sendiri.

Karenanya berkoperasi itu mulia. Bukan hanya bertujuan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Juga untuk menyadarkan masyarakat akan budaya kebersamaan, gotong royong dan saling peduli.

kontributor : Rizki Ardi

7 Pasal yang Harus Diselenggarakan Koperasi

Ke-7 pasal ini dikemukakan oleh Bung Hatta pada hari koperasi pertama tanggal 12 Juli 1951. Pada pidatonya beliau menekankan 7 pasal yang harus diselenggarakan koperasi. Yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Yang jika diaplikasikan hari ini akan sangat membantu perekonomian rakyat. Sayangnya ke-7 pasal ini, meskipun telah diamanatkan lebih dari 60 tahun yang lalu, belum dapat dijalankan oleh insan koperasi di Indonesia. Ada baiknya kita mengingat amanat Bung Hatta, dan mencoba menjalankannya kembali. Ke-7 pasal tersebut adalah :

1. Memperbanyak produksi
Visi Bung Hatta lebih dari 60 tahun yang lalu agar kita tidak lagi mendatangkan beras dari luar negeri, yang merupakan bentuk penghinaan bagi bangsa kita yang menduduki tanah air yang begitu luas dan subur. Saat ini, apakah visi tersebut suda terwujud? Kita masih mengimpor beras, sapi, buah-buahan. Padahal tanah kita luas, subur, orang kita banyak. Tentunya tidak mudah untuk berswasembada, karena tidak mudah itu makanya upaya harus dimulai secepatnya. Bukannya malah terpojok menyesali kondisi atau malah menyalahkan pemerintah. Jangan banyak berkomentar dan mengkritik, banyak bekerja dan belajar.

2. Memperbaiki kualitas
Berapa banyak koperasi produksi di Indonesia? Sedikit sekali. Dari sedikit koperasi produksi tersebut, berapa yang kualitasnya sudah kelas dunia? Lebih sedikit lagi. Koperasi jangan berharap untuk selalu berlindung dibawah naungan pemerintah. Koperasi harus dapat bersaing dengan korporasi, persaingan terutama dalam hal kualitas barang dan jasa. Koperasi harus dapat bekerjasama untuk menghasilkan barang-barang dengan kualitas yang bernilai tambah, lebih-lebih jika sampai pada kualitas ekspor. Sehingga kelak kita bisa berbangga dengan label Made in (koperasi) Indonesia.

3. Memperbaiki distribusi
Koperasi yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, terutama Koperasi Unit Desa (KUD) bisa sangat berperan dalam melakukan distribusi barang, terutama kebutuhan pokok. Sehingga tidak ada barang yang menumpuk di suatu daerah sehingga harganya jatuh dan merugikan produsen. Juga tidak ada barang yang langka di suatu daerah sehingga harganya tinggi dan merugikan konsumen. Dan tidak ada lagi kelangkaan barang pada waktu tertentu, karena stok barang ketika banyak disimpan di 'lumbung' untuk mengantisipasi nanti ketika kelangkaan terjadi.

4. Memperbaiki harga
Koperasi perlu membantu tugas pemerintah untuk menstabilisasi harga. Jangan sampai mekanisme penetapan harga sepenuhnya diberikan pada mekanisme pasar. Pasar terdiri dari para pengusaha, motto para pengusaha adalah membeli dengan serendah-rendahnya dan menjual dengan setinggi-tingginya. Sehingga harga-harga bersifat fluktuatif. Koperasi perlu mengambil peran dalam perdagangan komoditas dan barang kebutuhan pokok. Koperasi adalah perwakilan ekonomi rakyat, yang penting bagi koperasi bukanlah menjual dengan harga setinggi-tingginya. Yang terpenting bagi koperasi adalah agar bagaimana rakyat dapat membeli barang-barang dengan harga yang wajar.

5. Menyingkirkan pengisapan di lintah darat atas badan rakyat yang miskin
Terutama memberantas sistem ijon, para lintah darat ini harus digantikan perannya oleh koperasi secepatnya. Koperasi bukanlah orang per orang, koperasi adalah masyarakat yang bersatu demi kepentingan ekonomi bersama. Jika masyarakat bersatu membentuk KUD, tidak ada individu lintah darat yang dapat bertahan.

6. Memperkuat pemaduan modal
Yaitu dengan memperkuat budaya menyimpan di koperasi, menabung. Menambah jumlah anggota. Meminimalkan budaya konsumtif dan menggalakkan budaya menabung. Pola hidup konsumtif hanya akan memperkaya segelintir orang, pengusaha dan banyaknya perusahaan asing. Pola hidup menabung dapat membuat rakyat mandiri, koperasi memiliki modal besar yang bisa digunakan untuk memproduksi sendiri barang dan jasa kebutuhan rakyat dengan harga terjangkau. Di sisi lain rakyat memiliki simpanan berupa kepemilikan pada koperasi.

7. Memelihara lumbung simpanan padi atau mendorong supaya tiap-tiap desa menghidupkan kembali lumbung desa
Lumbung digunakan sebagai alat untuk menyesuaikan produksi dan konsumsi. Jika produksi padi di suatu desa pada musim panen sangat tinggi, tidak semua lantas dijual. Sebagian disimpan untuk konsumsi desa tersebut, atau untuk dijual secara bertahap di kemudian hari. Jangan sampai terjadi di musim panen masyarakat suatu desa kelebihan beras, selang beberapa bulan kemudian masyarakat desa tersebut terpaksa membeli beras dengan harga mahal karena stok beras sudah tidak ada.

Pemikiran yang maju dari seseorang yang hidup 60 tahun silam, alangkah sayangnya jika pemikiran yang begitu brilian hanya dibiarkan dalam bentuk pemikiran. Mari kita hidupkan pemikiran Bapak Koperasi Indonesia, mari kita wujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

kontributor : Rizki Ardi
Rabu, 23 September 2015

Koperasi Majikan!


"Pemimpin-pemimpin perusahaan ada yang insaf betapa mestinya bentuk perusahaan koperasi akan tetapi pekerjanya belum lagi insaf tentang cita-cita koperasi, lebih suka jadi buruh saja dengan tiada memikul resiko daripada jadi sekutu yang ikut serta memikul resiko. Apalagi karena perusahaan tenun pada mula berdirinya menghendaki kapital dan modal usaha yang agak besar, yang tak dapat diperiurkan lebih dahulu kepada mereka yang akan bekerja di dalamnya sebagai pekerja. Karena itu, perusahaan itu terpaksa dimulai oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai modal sebagai majikan. Minat dan kemauan itu mendorong ke jalan berkoperasi yang menyerupai konsentrasi tadi: koperasi majikan!"

Ide ini terinspirasi dari kutipan pidato Bung Hatta diatas, yang dikemukakan pada hari koperasi ke-2 tanggal 12 Juli 1952. Idenya adalah :

  • Beberapa orang, minmal 20 orang, yang mempunyai faktor produksi berupa ide, modal, pasar, model bisnis. Mendirikan perusahaan dengan bentuk badan usaha koperasi.
  • Anggota koperasi tersebut awalnya adalah para pendiri (majikan), di kemudian hari seiring dengan berkembangnya perusahaan. Keanggotaan koperasi dibuka untuk semua karyawan perusahaan.
  • Sehingga semua orang yang bekerja untuk perusahaan tersebut adalah pemilik perusahaan (koperasi).
  • Karyawan tidak hanya berperan sebagai buruh, juga berperan sebagai pemilik. Sehingga maju mundurnya perusahaan, karyawan ikut merasakan.
  • Ketika perusahaan maju dan berkembang. Karyawan turut merasakan bagian keuntungannya. Keuntungan perusahaan tidak hanya terfokus pada segelintir orang yang memang sudah kaya, seperti dalam badan usaha PT. Sedangkan karyawan hanya berperan sebagai buruh yang hanya mendapat gaji yang tidak seberapa besarnya. Hal ini dapat dihindari jika perusahaan berbentuk koperasi dan karyawan menjadi pemiliknya.
  • Ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan kemunduran. Karyawan juga turut menanggung resiko. Karyawan turut bertanggung jawab dan mencari solusi atas kesulitan yang dihadapi perusahaan. Karyawan juga berperan sebagai pengusaha, pemilik perusahaan. Jadi tidak akan ada lagi konflik antara pekerja dan pengusaha. Karena keduanya dalam koperasi adalah orang yang sama.


Tantangan yang dihadapi koperasi model ini adalah :

  • Tidak sembarang orang mau berbagi. Hanya orang-orang berjiwa besar yang merelakan kepemilikan perusahaannya dibagi ke orang lain. Para pendiri (majikan) perusahaan, mereka adalah perintis perusahaan, orang-orang yang pada awalnya berkorban banyak agar perusahaan dapat berdiri dan mapan. Biasanya orang berkorban agar dikemudian hari dapat memetik hasilnya untuk dirinya sendiri. Perlu orang berjiwa besar yang mau berkorban agar dikemudian hari orang lain juga dapat memetik hasilnya.
  • Perlu ada saringan yang ketat untuk menerima anggota. Karyawan perusahaan yang akan menjadi anggota harus di doktrinasi dahulu mengenai tujuan, prinsip dan filosofi berkoperasi. Agar tidak ada mental 'mau untungnya saja', perlu dibangun mental bertanggung jawab, mandiri, bekerjsama, demokrasi. Pendidikan mental ini perlu dilakukan terus menerus agar karyawan yang juga anggota koperasi benar-benar menjalankan perannya sebagai pemilik perusahaan.


Potensi dari model perusahaan ini adalah :

  • Tingkat engagement pekerja yang tinggi
  • Model bisnis baru bagi koperasi untuk dapat bersaing dengan korporasi
  • Sarana untuk memeratakan kesejahteraan masyarakat
  • Menghindari penumpukan kekayaan pada segelintir kelompok masyarakat
  • Mengindari konflik antara pekerja dan pengusaha


Awal dari semua ini adalah adanya orang-orang berjiwa besar dan berhati mulia, para majikan yang mendirikan perusahaan berbentuk koperasi untuk kemudian dimiliki bersama oleh segenap orang yang bekerja di perusahaan tersebut.

kontributor : Rizki Ardi

Sudah Pantaskah Saudara Disebut Anggota Koperasi?

Semakin saya membaca lembar demi lembar buku 'Membangun koperasi dan koperasi membangun' yang merupakan gagasan dan pemikiran Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia. Semakin saya menyadari betapa masih jauhnya kondisi saat ini dengan visi beliau, visi yang dikemukakannya lebih dari 60 tahun yang lalu. Yang sampai sekarang sayangnya belum terwujud.

Salah satu pemikirannya yang tidak terwujud, yang saya lihat sendiri kekhawatiran beliau terjadi di koperasi tempat saya bekerja. Adalah mengenai keterlibatan anggota koperasi sebagai motor penggerak koperasi, peran aktif anggota koperasi untuk memajukan koperasi. Yang saya lihat saat ini adalah anggota koperasi yang pasif, yang hanya menyetor simpanan dan menunggu SHU. Tidak ada pemikiran apalagi upaya untuk memajukan koperasi, semuanya diserahkan kepada pengurus. Ironisnya lagi, pengurus menyerahkan sebagian besar pengelolaan kepada pengelola koperasi. Dan lebih ironisnya lagi, pengelola koperasi dibatasi tidak bisa menjadi anggota koperasi. Suatu ironi yang bertumpuk-tumpuk.

Setelah tiga tahun mengelola koperasi semacam ini, alhamdulillah grafik koperasi selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah anggota, volume usaha, SHU. Namun saya merasa ada yang salah, seharusnya mengelola koperasi tidak begini. Angka-angka memang meningkat jumlahnya, namun yang namanya perasaan tidak bisa dibohongi, ada makna yang hilang dibalik peningkatan kinerja koperasi. Saya belum tahu pasti apa makna yang hilang tesebut hingga saya bertemu suatu paragraf di buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun. Berikut saya salin langsung apa yang dikatakan Bung Hatta dalam pidatonya pada Hari Koperasi ke-2 tahun 1952 :

"Gerakan koperasi akan lebih cepat majunya dan akan lebih besar hasilnya, apabila tidak saja pengurus yang bekerja giat sebagai propaganda, akan tetapi juga anggota-anggotanya. Anggota yang menjadi pengikut saja dari belakang dengan tidak mempunyai kemauan sendiri, tidak besar artinya bagi koperasi. Koperasi menghendaki dari segala anggotanya ikut serta  menjunjung dan bertanggung jawab. Tiap-tiap anggota harus insaf akan gunanya koperasi bagi dia dan bagi masyarakat, harus insaf akan kewajibannya terhadap pemeliharaan koperasinya. Ia harus bercita-cita koperasi, mau sehidup semati dengan koperasinya. Kemauan itu hendaklah berdasar keinsafan bahwa masyarakat Indonesia hanya bisa makmur dengan koperasi sebagai dasar perekonomian rakyat.

Saya sering-sering memperingatkan perbedaan antara perkumpulan dagang yang pakai andil, saham sebagai N.V. atau M.A.B. dengan koperasi. Bagi N.V. cukuplah apabila pengurus atau pimpinannya bekerja giat, ahli peserta hanya menunggu hasil yang berupa keuntungan habis tahun. Selanjutnya sebagai kelanjutan pula daripada keadaan yang seperti itu, nasib N.V. Boleh dikatakan semata-mata dalam tangan pengurus tadi. Pada N.V. Yang diutamakan oleh ahli pesertanya ialah pembagian keuntungan tiap-tiap tahun.

Tidak demikain dengan koperasi! Tiap-tiap anggota harus giat berusaha menyuburkan koperasi, tiap-tiap anggota harus merasai tanggung jawabnya tentang nasib perkumpulannya tentang cepat dan lambatnya kemajuan koperasinya. Bukan menunggu-nunggu pembagian keuntungan habis tahun menjadi pokok, melainkan berusaha bersama-sama supaya koperasi dapat menyelenggarakan keperluan bersama dengan sebaik-baiknya."

Jika saudara, jika kita yang saat ini menyandang status sebagai anggota koperasi. Sesuai dengan gambaran dan harapan Bung Hatta diatas mengenai anggota koperasi. Tanyalah kepada diri kita sendiri. Sudah pantaskah saya disebut anggota koperasi?

kontributor : Rizki Ardi
Sabtu, 19 September 2015

Karyawan Koperasi yang Bukan Anggota Koperasi

Masih adakah koperasi yang karyawan koperasinya bukan anggota koperasi? Kalau masih ada, saya harap itu karena ketidaksediaan dari masing-masing individu karyawan koperasi, bukan karena dibatasi oleh anggaran dasar koperasi. Saya akui, pasti masih ada atau bahkan banyak koperasi yang karyawan koperasinya bukan anggota koperasi dikarenakan anggaran dasar koperasi tidak memperbolehkan hal tersebut. Ini bukan cerita dongeng, karena ini terjadi di koperasi karyawan tempat saya bekerja, dan di koperasi karyawan lain yang sempat saya kunjungi juga demikian.

Ini kerap terjadi di koperasi karyawan, misal: Karyawan PT.X mendirikan 'koperasi karyawan PT.X', karena karyawan 'koperasi karyawan PT.X' bukan karyawan PT.X maka karyawan koperasi tidak diperbolehkan menjadi anggota. Saya kurang mengerti logika seperti ini. Kalau saja saya berperasangka buruk, kemungkinan orang-orang yang menyusun anggaran dasar yang tidak membolehkan karyawan koperasi menjadi anggota koperasi adalah karena takut jatah SHU nya berkurang karena harus dibagi ke lebih banyak orang. Kalau memang dasar pemikiran ini yang menjadi alasan, sungguh picik pikiran orang-orang seperti itu. Ingin untung sendiri sementara orang lain dihalang-halangi untuk mendapatkan apa yang ia dapatkan. Ingat hadist Rasullullah yang berbunyi 'Tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri'.

Ini bukan pemikiran saya sendiri. Pemikiran ini sudah jauh ada dari zaman Indonesia baru merdeka. Pemikiran yang sama dengan pemikiran Bapak Koperasi Indonesia, Dr. Mohammad Hatta. Jadi alangkah malunya saudara anggota koperasi yang menerapkan peraturan semacam itu, dimana karyawan koperasi tidak diperbolehkan menjadi anggota koperasi. Tidak pantas koperasi saudara menyandang nama koperasi jika apa yang diterapkan di koperasi saudara bertentangan dengan visi pionir koperasi di Indonesia sekaligus proklamaor kemerdekaan bangsa ini. Jangan beralasan karena hal itu sudah diatur di anggaran dasar koperasi. Saudara sekalian sebagai anggota koperasi secara bersama-sama punya kekuatan mengubah anggaran dasar tersebut dalam rapat anggota. Saya bersama Bung Hatta ikut mengecam koperasi yang semacam itu.

Untuk membuktikan hal ini, saya ingin mengutip langsung pidato Bung Hatta pada hari koperasi ke 2 tanggal 12 Juli 1952. "Memang, mungkin juga terjadi bahwa sebuah koperasi mempunyai beberapa orang buruh untuk mengerjakan pekerjaan yang kecil-kecil yang tidak menjadi pokok usaha bagi koperasi itu. Misalnya koperasi menggaji buruh untuk menyapu ruangan bekerja supaya anggota-anggotanya yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu. Umpamanya pula, koperasi menggaji seorang instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk tentang cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang diserahi dengan pekerjaan itu. Sungguh pun begitu juga terhadap mereka yang memburuh itu yang mengerjakan pekerjaan yang kecil-kecil, koperasi harus membuka kesempatan untuk menjadi anggota."

Jika saudara tetap kukuh menetapkan peraturan semacam itu, ada baiknya saudara ganti bentuk badan usaha dari koperasi menjadi bentuk badan usaha apapun yang saudara suka, asal bukan koperasi. Koperasi bukan sekedar bentuk badan usaha, koperasi adalah ideologi. Koperasi adalah gerakan untuk mensejahterakan masyarakat. Adapun jika koperasi saudara terdapat upaya-upaya untuk membatasi kesejahteraan hanya kepada sekelompok orang, maka saya tegaskan bahwa upaya itu sungguh memalukan. Kurang lebih sama memalukannya dengan mereka yang korupsi, sama-sama memikirkan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain.

kontributor : Rizki Ardi

Visi Luar Biasa Bung Hatta


Saya baru membeli buku 'Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun' yang merupakan kumpulan pidato dan tulisan Bung Hatta mengenai koperasi. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1971 oleh Pusat Kooperasi Pegawai Negeri Djakarta Raja. Dan tahun 2015, alhamdulillah diterbitkan ulang oleh Penerbit Buku Kompas. Hingga buku yang tadinya langka sekarang ada di tangan saya. Buku bersampul merah dengan desain cover yang sederhana dan tanda tangan Bung Hatta di depannya seolah memiliki karisma tersendiri. Dan ternyata setelah saya bawa pulang dan membaca tulisan pertama di buku ini yang berjudul sama dengan judul bukunya. Tidak salah, buku ini memang mempunyai karisma. Lebih tepatnya karisma Bung Hatta yang tersampaikan dalam buku ini.

Kesan pertama yang saya dapat setelah selesai membaca pidato beliau yang berjudul 'Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun' adalah luar biasa. Baru di tulisan pertama saja, saya merasa visi beliau untuk ekonomi Indonesia sudah sangat jauh, sangat maju, sangat mulia. Saking majunya pandangan beliau, sampai-sampai visi ini masih menjadi PR bagi kita semua, generasi penerus kemerdekaan. Apa yang beliau ramalkan, apa yang beliau khawatirkan, apa yang beliau wanti-wanti dalam pidatonya itu sekarang terbukti. Bahwa perkonomian Indonesia jatuh ke tangan segelintir orang, bahwa perekonomian Indonesia di kontrol oleh golongan kaya. Bagi Bung Hatta jawaban atas permasalahan ini adalah koperasi, tapi koperasi yang bagaimana? Yang jelas bukan koperasi yang kita hadapi sekarang. Insyaalah koperasi yang bagaimana akan saya ungkapkan di tulisan-tulisan berikutnya, seiring dengan saya membaca lembar demi lembar pemikiran Bung Hatta.

Pidato berjudul 'Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun' ini disampaikan tahun 1951, ketika Indonesia baru saja merdeka, periode 65 tahun lampau. Namun ketika saya membaca pemikiran dan gagasan beliau, seolah pidato itu baru disampaikan kemarin. Seolah apa yang dikatakan beliau dalam pidatonya masih relevan hingga saat ini. Seolah perjuangan Bung Hatta masih berada dalam tahap-tahap awal, jauh dari apa yang menjadi visi beliau.

Bung Hatta, betapa maju visimu, betapa sulit diwujudkan, betapa sangat menuntut pengorbanan. Tapi kami yakin, sebagai penerusmu, sulit dan sukar itu bukan alasan untuk menghentikan perjuangan. Insyaallah akan diturunkan orang-orang yang memiliki visi sama sepertimu, orang-orang yang bersedia berkorban untuk membangun koperasi, bukan orang-orang yang hanya berniat mengambil keuntungan dari koperasi. Insyaallah, Allah akan tanamkan visimu di kepala orang-orang hebat di negeri ini, sehingga mereka tergerak untuk menggunakan pemikiran, keahlian dan modalnya bukan hanya untuk memperkaya sekelompok orang, bukan hanya untuk membangun raksasa bisnis swasta, melainkan untuk membangun koperasi dan ekonomi rakyat Indonesia.

Adalah nasib semua orang-orang besar, bahwa mereka meninggal dunia dengan visi mereka masih belum terwujudkan. Bukan karena mereka tidak berjuang mati-matian, mereka bahkan mati dalam perjuangan atas visinya. Namun semata-mata karena visi mereka terlalu besar untuk dapat diwujudkan hanya dalam satu generasi. Terakhir saya ingin mengutip langsung dari perkataan beliau dalam pidatonya: 'Setelah kita sekarang menjadi suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, bukan lagi semboyan yang utama, melainkan bukti yang diperbuat'.

kontributor : Rizki Ardi

Surat Terbuka untuk Koperasi Karyawan

Pertama kali saya terdampar di dunia koperasi, adalah di koperasi karyawan. Ketika itu, tiga tahun yang lalu, saya tidak tahu banyak mengenai koperasi. Bahkan pernah saya melontarkan pertanyaan bodoh kepada salah satu anggota koperasi 'Apakah semua karyawan disini diwajibkan menjadi anggota koperasi?' Pertanyaan yang bodoh bukan. Setelah saya tahu di kemudian hari, ternyata koperasi memiliki prinsip keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka. Tidak ada seorang pun yang bisa dipaksa atau diharuskan menjadi anggota koperasi.

Itu tiga tahun lalu, saat ini saya tidak tahu banyak tentang koperasi. Sekarang sedikit banyak saya telah belajar mengenai pengelolaan koperasi. Namun baru beberapa bulan terakhir saya merasa perlu belajar bukan hanya pengelolaan koperasi itu sendiri, namun lebih pentingnya filosofi koperasi. Apa arti berkoperasi? Apa makna berkoperasi? Apakah sekedar berbisnis mencari keuntungan? Apakah sekedar menunggu SHU setiap tahun? Saya sebelumnya tidak tahu banyak mengenai sejarah koperasi, juga tidak tahu makna berkoperasi sesungguhnya. Tetapi hati kecil saya berkata, ada kejanggalan di koperasi karyawan tempat saya bekerja. Ada sesuatu yang seharusnya tidak begini.

Saya bekerja di koperasi karyawan sebuah BUMN, yang keanggotaannya dibatasi hanya boleh diikuti oleh karyawan BUMN. Yang notabene mereka sudah sejahtera secara penghasilan. Bagi mereka uang SHU yang dibagikan setiap tahun tidak lebih dari uang lewat, yang mungkin beberapa hari sudah habis entah untuk apa. Padahal nilainya tidak kecil menurut saya. Bahkan ketika ditawarkan agar uang SHU tersebut di transfer melalui rekening, mayoritas anggota menolak dan meminta dibayarkan secara tunai saja. Alasannya SHU itu uangnya laki-laki, karena mayoritas karyawan yang bekerja disana adalah laki-laki.

Kejanggalan yang saya rasa adalah, bahwa bukan hanya karyawan BUMN saja yang bekerja di lokasi industri tersebut. Ada cleaning service, ada helper, supir, security, mereka yang fungsinya sebagai tenaga pendukung. Gaji mereka tidak jauh dari UMR, sebagian malah pas UMR. Mereka yang jika anaknya mau masuk sekolah bingung harus pinjam kemana, mereka yang rumahnya masih ngontrak. Mereka adalah masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah. Herannya, dalam anggaran dasar koperasi karyawan tersebut tidak mengizinkan orang-orang itu menjadi anggota koperasi. Mereka terhalang untuk mendapat fasilitas pinjaman dari koperasi, terhalang untuk mendapat SHU setiap tahun dari koperasi. Apakah ini fungsi koperasi? Memperkaya yang kaya dan membiarkan yang miskin tetap miskin. Orang yang sudah sejahtera dijadikan anggota, sedangkan orang yang masih kurang sejahtera dilarang menjadi anggota koperasi.

Justru mereka yang bukan karyawan BUMN inilah yang paling memerlukan kehadiran koperasi untuk membantu perekonomiannya. Agar koperasi dapat membantu mendapat pinjaman yang mudah dan murah, membantu mereka mendapat bantuan KPR, membantu mereka menyediakan kebutuhan pokok. Bagi anggota koperasi yang karyawan BUMN, mereka tidak perlu pinjam ke koperasi, tabungan mereka sudah banyak bahkan sanggup membeli sepeda harga belasan juta. Mereka tidak perlu mendapat bantuan KPR, mereka sudah tinggal nyaman di perumahan elit. Mereka tidak perlu dibantu untuk disediakan kebutuhan pokok yang murah, mereka sudah tidak berpikir kesitu lagi, yang terpikir oleh mereka adalah bagaimana bisa menabung untuk ganti mobil.

Apakah fenomena ini hanya terjadi di koperasi karyawan tempat saya bekerja? Atau fenomena ini cerminan koperasi karyawan di Indonesia? Kalau ini memang terjadi di banyak koperasi karyawan di Indonesia dan Bung Hatta masih hidup, pasti beliau marah, pasti beliau sedih. Melihat koperasi digunakan hanya sebagai kuda tunggangan bagi mereka yang berduit. Menjadikan koperasi hanya sebagai bisnis murni, tanpa melihat ke kanan dan ke kiri bahwa di sebelah mereka masih ada golongan masyarakat yang lebih membutuhkan kehadiran dan jasa koperasi. Menjadikan tujuan berkoperasi hanya untuk mendapat SHU tiap tahunnya. Sungguh menyedihkan.

Berapa banyak anggota koperasi yang tahu apa tujuan koperasi di Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992. Pada bab II pasal 3 dinyatakan bahwa koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau anggotanya sudah sejahtera, seperti karyawan BUMN tadi, apa lagi yang mau disejahterakan saudara-saudara? Kalian sudah sanggup beli rumah, beli mobil, beli emas. Saatnya menggunakan koperasi untuk mensejahterakan masyarakat. Jangan berpikiran picik dengan berargumen bahwa kalian masih butuh uang SHU untuk ini dan itu, untuk bikin garasi, untuk beli sepeda gunung, untuk travelling. Masih ada orang yang lebih butuh uang SHU untuk membayar sekolah anaknya, untuk beli susu anak, untuk biaya pengobatan.

Semoga tulisan ini dibaca oleh anggota koperasi karyawan yang merasa koperasinya masih seperti itu. Dan minimal mulai menyadari bahwa tujuan koperasi adalah jauh lebih mulia daripada sekedar mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukalah keanggotaan koperasi seluas-luasnya hingga dapat menyentuh, melayani mereka yang benar-benar membutuhkan kehadiran koperasi.
Jumat, 18 September 2015

Koperasi Harus Berani Rugi

Di undang-undang nomor 17 tahun 2012 yang sempat dibatalkan oleh MK. Singkatan SHU sempat diubah, dari awalnya SHU yang berarti Sisa Hasil Usaha, menjadi Selisih Hasil Usaha. Ada apa dibalik perubahan nama ini? Sekilas tidak terlalu banyak berbeda. Namun ada filosofi yang mendalam disitu. Istilah Surplus Hasil Usaha secara tidak langsung mengharuskan koperasi untuk selalu surplus, selalu untung. Padahal tidak harus demikian. Namanya bisnis kadang untung kadang rugi, asal jangan rugi terus. Beda dengan istilah Selisih Hasil Usaha, selisih bisa selisih plus (untung), bisa minus (rugi). Jadi koperasi diperlakukan sebagaimana badan usaha lain, yang tidak harus melulu untung.


Jangan disalahartikan bahwa saya berharap atau bahkan menganjurkan koperasi untuk rugi. Tidak sama sekali. Disini saya hanya ingin memberikan perspektif yang benar mengenai 'rugi'. Jika dibandingkan dengan bela diri, rugi itu ibarat jatuh. Tujuan bela diri bukanlah untuk jatuh, namun seorang yang belajar bela diri tidak boleh takut jatuh. Dan di bela diri tertentu seperti judo dan aikido, yang pertama dipelajari adalah bagaimana jatuh yang baik. Agar ketika jatuh kita mampu bangkit lagi dengan cepat. Begitupun di bisnis, tujuannya bukanlah untuk rugi, namun seseorang yang memutuskan untuk terjun dalam bisnis tidak boleh takut rugi. Rugi dan untung, jatuh dan bangkit, siang dan malam, hanyalah tahapan-tahapan kehidupan. Masalahnya bukan kita tidak boleh rugi, tapi bagaimana kita lebih banyak untungnya daripada rugi. Bukan berapa kali kita jatuh, tapi berapa kali kita bangkit, itu yang penting.

Pembahasan konsep berani rugi ini dibagi menjadi dua, yaitu bagi :
1. Koperasi yang baru berdiri dan baru merintis
2. Koperasi yang telah mapan

Koperasi yang baru berdiri dan baru merintis
Suatu bisnis di awal-awal berdirinya tentu membutuhkan investasi, harus mengeluarkan biaya terlebih dahulu sebelum berharap mendapat keuntungan. Bisnis rumah makan misalnya, di awal-awal bisnis tersebut harus mengeluarkan investasi untuk membeli atau menyewa tempat, biaya merenovasi tempat, biaya karyawan, biaya bahan baku, biaya promosi dan lain-lain. Padahal di bulan-bulan pertama restoran buka, mungkin saja biaya yang dikeluarkan lebih besar dibanding pendapatan yang masuk. Yang berarti di bulan-bulan pertama restoran tersebut merugi. Tapi jika pemilik restoran punya keyakinan dan optimisme yang kuat bahwa restorannya pasti sukses, ia akan terus mengeluarkan biaya-biaya tersebut, meskipun di bulan-bulan pertama merugi. Karena pemilik restoran punya optimisme dan rencana bisnis yang jelas kapan restorannya mulai untung, kapan restorannya balik modal. Dan balik modal ini juga tidak bisa dalam beberapa bulan, bisa satu tahun, bisa lebih.

Sama halnya dengan koperasi, yang merupakan badan usaha. Ada kalanya anggota tidak mengerti, ketika di tahun pertama koperasi  berdiri langsung dituntut tahun itu juga harus bisa bagi-bagi SHU. Kalau tuntutannya begitu, di tahun pertama langsung bisa bagi-bagi SHU. Maka kecenderungan pengurus adalah dengan mencari bisnis-bisnis yang mudah, yang pasti-pasti, yang tidak perlu keluar banyak modal. Pengurus pun pasti enggan menginvestasikan uangnya untuk membangun aset, merekrut dan melatih SDM yang berkualitas, mengembangkan organisasi. Koperasi di tahun pertamanya saja sudah seperti sapi perah, paling-paling bisnis yang dilakukan adalah bisnis makelar, menjadi perantara. Di koperasi karyawan misalnya, yang paling mudah adalah mendapat order dari perusahaan induk lantas memberikan order tersebut ke supplier lain dengan margin kecil, katakanlah 5%. Padahal jika koperasi tersebut berani berinvestasi merekrut orang yang berpengalaman, berinvestasi membeli kendaraan, keuntungan dari order tersebut jika dilaksanakan sendiri bisa 20% - 30%, dan itu untuk jangka panjang.

Untuk anggota dan pengurus koperasi saya pesankan, jika Anda baru membentuk koperasi. Koperasinya baru berdiri. Jangan berharap untuk mengambil untung, jangan beraharap untuk menerima SHU untuk tiga tahun pertama. Biarkan selama tiga tahun tersebut modal koperasi digunakan untuk memupuk modal, jangan diambil dulu. Biarkan selama tiga tahun pertama uang yang ada di koperasi digunakan untuk diinvestasikan pada aset produktif, pada manusianya juga. Kalaupun dalam tiga tahun pertama koperasi merugi, kan bisa dilihat ruginya kenapa. Kalau ruginya karena ada aktivitas investasi, aktivitas riset, aktivitas pemasaran, aktivitas pengembangan, saya rasa itu wajar dan masih bisa dipertanggungjawabkan. Kalau ruginya karena salah urus atau pengeluaran yang diluar kewajaran, baru Anda sebagai anggota wajib turun tangan untuk mengintervensi koperasi.

Di tiga tahun pertama adalah masa kritis sebuah koperasi. Di situlah saat koperasi meletakkan dasar organisasi yang kuat. Apa yang dilakukan di tiga tahun pertama memang tidak terkait langsung dengan profit. Namun penting sebagai pondasi koperasi di masa depan. Dalam tiga tahun pertama apa yang menjadi prioritas koperasi? Yaitu menetapkan visi, misi, nilai dan rencana strategis yang mapan dan dipahami oleh semua pihak terkait; Melakukan investasi pada infrastruktur dan sistem kerja; Merekrut dan mengembangkan SDM yang berkualitas; Memahami pasar dan pelanggan; Membangun citra koperasi sebagai organisasi yang dapat dipercaya dan profesional. Semua itu tidak terkait langsung dengan pencapaian finansial, tapi jika tidak dilakukan maka pencapaian finansial koperasi secara jangka panjang bisa terancam.

Lalu bagaimana koperasi yang di tahun-tahun pertamanya langsung fokus pada pencapaian profit? Tidak apa-apa selama aktivitas dasar, pondasinya tetap dibangun disaat yang sama. Hanya saja perlu perhatian dan kerja extra keras untuk fokus pada dua hal sekaligus. Yaitu mencari profit dan membangun pondasi organisasi. Jikalau ada koperasi yang di tahun-tahun pertamanya hanya fokus pada profit dan lupa membangun pondasi organisasi, kemungkinan besar di tahun-tahun k etiga sampai ke lima, koperasi tersebut akan mengalami kegamangan, kehilangan arah. Tidak tahu koperasi ini mau dibawa kemana, tidak tahu apa yang harus dijadikan pegangan. Terlebih ketika ada penggantian pengurus, maka halauan koperasi bisa begitu saja berubah, organisasi koperasi terombang-ambing. Terutama pengelola yang ada di dalamnya. Beda pengurus beda arah kebijakan, sama halnya kapal yang berganti arah ketika berganti nakoda. Ini semua karena pada awalnya tidak fokus untuk membentuk pondasi organisasi.

Dan saya tegaskan lagi, untuk membentuk pondasi organisaasi diperlukan biaya. Biaya yang seringkali menurunkan profit koperasi atau bahkan bisa sampai membuat koperasi rugi. Jika biaya untuk membangun pondasi organisasi sudah diperhitungkan matang-matang, buat apa ragu-ragu. Kalaupun rugi di tahun-tahun pertama, itu memang pengorbanan yang harus dibayar di awal untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Jadi jika ada koperasi yang baru berdiri tapi tidak bersedia rugi, itu ibarat orang yang mau mencapai suatu impian tapi tidak bersedia berkorban di awal.

Koperasi yang telah mapan
Siapa bilang koperasi yang sudah mapan itu pantang merugi? Maksud saya disini bukan merugi secara keseluruhan bisnis koperasi. Ketika koperasi sudah mapan, sudah berdiri tiga atau lima tahun lebih. Profitnya secara keseluruhan harus naik terus. Jangan sampai turun apalagi merugi. Yang ingin saya bahas disini adalah kerugian di masing-masing unit usaha.

Di koperasi tentunya ada lebih dari satu unit usaha. Unit usaha adalah sumber pendapatan koperasi, semakin banyak unit usahanya semakin besar peluang memperoleh pendapatan. Koperasi yang punya tiga unit usaha cenderung lebih baik daripada yang punya dua unit usaha, semakin banyak unit usaha semakin baik. Dari tahun ke tahun koperasi harus berani melakukan riset untuk mengembangkan unit usaha baru yang berpotensi memberi keuntungan bagi koperasi. Jangan sampai ada cerita, koperasi yang saat ini punya 5 unit usaha, 10 tahun kemudian masih tetap punya 5 unit usaha, bahkan bisa jadi kurang dari 5. Koperasi yang seperti itu koperasi yang tidak berkembang, minim inovasi.

Koperasi yang berkembang adalah koperasi yang senantiasa mencari inovasi dan terobosan di bidang usaha. Mencari cara baru mendapatkan pendapatan. Membuka bisnis baru, mendirikan anak perusahaan, mencari segmen pasar baru. Jika tahun ini cuma punya usaha toko dan simpan pinjam, tahun depan coba merintis usaha katering, tahun depannya lagi usaha penyewaan peralatan pesta, tahun depannya lagi barangkali bisa jadi wedding organizer, dan seterusnya.

Lalu apa hubungannya unit-unit usaha tersebut dengan berani rugi? Tentu ada, setiap usaha baru pasti ada resiko rugi, resiko gagal. Kalau tahun ini koperasi merencanakan dan mengeksekusi 5 usaha baru, dan ternyata yang 1 gagal, yang 4 berhasil. Itu masih wajar dan masih bisa dikatakan prestasi bagi pengurus koperasi. Jika suatu usaha telah diperhitungkan secara matang, mendapat persetujuan rapat anggota, namun karena faktor-faktor eksternal, bisnis tersebut rugi maka bisa dimaklumi. Bahkan rugi disini tidak sama dengan gagal, bisa saja rugi disini karena memang belum untung, belum sukses. Bisa saja di tahun pertama unit usaha baru merugi, tahun ke dua baru untung, tahun ke tiga ternyata malah untung besar.

Janganlah anggota koperasi menyalahkan pengurus jika ada salah satu dari sekian banyak unit usaha yang merugi. Banyaknya unit usaha justru mencerminkan kreativitas pengurus dalam berbisnis. Itu tandanya pengurus berjiwa wirausaha. Anggota koperasi harus punya toleransi yang sehat terhadap kerugian. Bahwa kerugian kadangkala memang jalan yang harus dilewati untuk mencapai keuntungan.

Sejauh mana koperasi memiliki toleransi terhadap kerugian, sejauh itu pula peluang inovasi terbuka di koperasi tersebut. Bahkan perusahaan raksasa dunia, Google pun tidak semua produknya berhasil. Tidak semua usaha yang dirintisnya untung. Di akhir tulisan ini saya ingin mengajak Anda, praktisi koperasi, pengurus, pengawas, anggota dan pengelola. Untuk memandang kerugian tidak hanya dari satu lensa yang negatif. Terkadang kerugian memang diperlukan, tak terhindarkan. Koperasi yang tidak berani rugi akan sulit majunya, karena ia tidak mau menanggung resiko. Buka mata, perluas persepsi, jangan jadi koperasi ecek-ecek.

kontributor : Rizki Ardi

Pengurus Koperasi: Jangan Takut Mengambil Resiko


Mengelola perusahaan, dan juga koperasi tentunya. Itu seperti berjalan di atas titian tali, kita harus bisa menyeimbangkan diri. Antara terlalu berani mengambil resiko atau terlalu berhati-hati mengambil resiko. Koperasi tidak seperti perusahaan pribadi, tidak bisa mengambil resiko terlalu banyak. Karena disitu ada uang orang banyak. Berbeda dengan perusahaan pribadi, jika individu pemiliknya adalah seorang risk taker, maka baginya mungkin tidak apa-apa kehilangan modal karena perusahaannya salah mengkalkulasi resiko.  Seorang direktur di perusahaan pribadi, bisa saja mengambil resiko tinggi, kalaupun keputusan yang ia ambil salah, paling-paling ia dipecat dan cari perusahaan lain. Di koperasi, seorang pengurus jika mengambil resiko tinggi dan ternyata ia salah ambil keputusan, yang mengakibatkan koperasi merugi. Maka ia bisa disalahkan, dicemooh oleh  anggota koperasi yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Dan anggota koperasi itu biasanya adalah orang-orang yang ada di lingkungannya, entah itu lingkungan kerja, lingkungan profesi atau lingkungan tempat tinggal. Dimana pengurus tidak bisa kabur dari tekanan tersebut. Tekanannya lebih berat bagi pengurus koperasi jika ia salah mengkalkulasi resiko dibanding direktur sebuah PT. Karenanya bisa dipahami jika kebanyakan koperasi cenderung bersikap risk avoider, tidak mau banyak mengambil resiko.

Ada prinsip dalam investasi yang berbunyi 'high risk, high return'. Resiko tinggi, untungnya juga tinggi, begitu pula sebaliknya. Memang ungkapan tadi bukan suatu fakta yang 100% selalu benar, namun ungkapan tersebut merupakan gambaran umum dari suatu hukum alam. Siapa yang mau lebih ya harus siap berkorban lebih. Lalu, bagaimana jika koperasi tidak banyak mengambil resiko? Sesuai prinsip diatas, return yang didapat koperasi hampir dipastikan juga rendah. Memang persoalan mengambil resiko ketika mengelola koperasi ibarat buah simalakama. Jika mengambil resiko tinggi, return tinggi, tapi kemungkinan salah dan disalahkan juga tinggi. Jika mengambil resiko rendah, return rendah, tapi kemungkinan salah dan disalahkan juga rendah. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengulas dilema ini. Meskipun pada kesimpulannya di awal tulisan ini saya ingin katakan bahwa koperasi hendaknya meninggalkan paradigma dan cara lama untuk menghindari resiko. Resiko itu ada bukan untuk dihindari, namun untuk dikalkulasi, dimitigasi dan dihadapi. Koperasi perlu mengambil resiko-resiko yang telah diperhitungkan. Pengurus koperasi perlu lebih berani untuk mengambil resiko.

Dilihat dari segi pengambilan resiko, ada dua tipe pengurus yang harus dihindari, yaitu :
1. Risk taker
2. Risk avoider

Pengurus tipe risk taker
Berikut contoh pengurus koperasi yang mengambil resiko terlalu tinggi. Di suatu koperasi, terdapat dana idle yang cukup besar, yang belum tahu dipergunakan untuk usaha apa. Nilainya katakanlah satu milyar rupiah. Pada suatu saat pengurus koperasi diberitahu oleh kerabat dekatnya bahwa ada tanah yang rencanannya satu tahun kedepan akan didirikan bangunan komersial, namun para pemilik tanah disitu tidak tahu rencana tersebut. Perkiraan harga tanah saat itu adalah 500 ribu per meter persegi, namun jika rencana pembangunan tersebut jadi maka harga tanah bisa dihargai sampai dengan satu juta per meter persegi. Peluangnya adalah membeli tanah itu sekarang dari pemilik tanah, dan menjualnya kembali kepada developer yang akan mendirikan bangunan komersial.

Karena tergiur akan keuntungan yang dua kali lipat hanya dalam waktu satu tahun, dan kebetulan ia juga memegang dana koperasi yang idle. Maka dengan kesepakatan bersama pengurus yang lain, dilakukanlah eksekusi pembelian lahan tersebut. Ketika rapat anggota, pengurus yang tadi mampu mempertanggungjawabkan transaksi pembelian tersebut, karena memang tujuannya adalah untuk melipatgandakan uang anggota. Namun karena terlalu tergiur oleh janji keuntungan dua kali lipat tadi, ketika tanah tersebut akan dibeli oleh pihak developer, ternyata tanah tersebut ada sengketa. Ada pihak lain yang mengaku memiliki hak atas tanah tersebut. Kedua belah pihak punya argumennya masing-masing. Ketika melakukan pembelian, pengurus tidak mengecek semua kemungkinan dan konsekuensi yang terjadi atas transaksi tersebut. Akhirnya karena sengketa berlarut-larut, developer tidak jadi membeli tanah di daerah tersebut. Uang anggota koperasi masih tersangkut di tanah sengketa, tidak bisa lagi diputar.

Ada beberapa penyebab mengapa pengurus koperasi terlalu berani mengambil resiko, tanpa banyak melakukan perhitungan dan pertimbangan. Antara lain :

1. Merasa telah 100% dipercaya oleh anggota
Karena telah dipilih menjadi pengurus, ia merasa berhak untuk menggunakan dana koperasi sesuai dengan kebijakannya sendiri, tanpa terlebih dahulu diskusi atau meminta saran dari anggota. Pengurus seperti ini merasa telah diberi kuasa penuh oleh anggota. Padahal rencana-rencana kerja yang sebelumnya belum disepakati atau disetujui dalam rapat anggota hendaknya tidak dilaksanakan, apalagi yang berhubungan dengan pengeluaran dana dalam jumlah besar. Kalaupun di tengah jalan ada peluang usaha yang nampak baik, yang memerlukan alokasi dana besar, seharusnya dibuat rapat anggota luar biasa untuk memutuskan apakah peluang usaha tersebut diambil atau tidak. Dengan adanya keputusan rapat anggota maka pengurus terbebas dari beban moril jika usaha yang dijalankan tidak berjalan sesuai rencana.

2. Tergiur oleh keuntungan yang berlipat
Hal yang paling dahulu dicurigai dari suatu investasi atau usaha adalah jika return dan keuntungannya terlihat tak masuk akal. Bukan berarti tidak ada investasi atau usaha yang returnnya berkali-kali lipat, ada, hanya saja jarang sekali. Karenanya jika mendapati tawaran investasi atau peluang usaha yang menjanjikan return diluar kewajaran, bombastis, fantastis. Maka perlu dilakukan penyelidikan lebih mendalam. Apalagi ini yang akan diinvestasikan adalah uang orang banyak, bukan uang pribadi. Jangan sampai muka koperasi tercoreng lagi gara-gara anggota koperasi dirugikan oleh keputusan segelintir orang.

3. Tidak memiliki ilmu mengenai manajemen resiko
Semua bidang ada ilmunya, termasuk resiko. Ada bidang ilmu manajemen resiko. Bagaimana menghitung resiko, bagaimana meminimalkan resiko, bagaimana mengantisipasi resiko, bagaimana menanggulangi resiko dan lain-lain. Ketika seorang pengurus bersedia dilantik menjadi pengurus. Secara tidak langsung ia harus siap belajar mengenai bidang ilmu yang satu ini, manajemen resiko. Contohnya seperti kasus diatas tadi. Ketika membeli properti berupa tanah kita harus tahu resiko apa yang mungkin dihadapi, berapa besar kemungkinannya, berapa besar dampaknya, bagaimana cara meminimalkannya dan seterusnya. Lebih baik lagi jika sebelum melakukan keputusan ada dokumen manajemen resiko yang diajukan kepada rapat anggota untuk disetujui. Dengan begitu pengurus telah melakukan pekerjaannya secara profesional. Jika pengurus tidak sempat belajar mengenai manajemen resiko, maka pengurus bisa mengangkat manajer koperasi yang berpengalaman dan tahu mengenai manajemen resiko. Atau pengurus bisa datang ke konsultan manajemen untuk meminta pertimbangan.

Bagi pengurus koperasi yang cenderung mengambil resiko tinggi agar memperhatikan ini, resiko perlu diambil namun jangan gegabah, jangan terburu-buru. Pelajari dulu ilmunya, konsultasikan dengan pihak yang sudah ahli dan berpengalaman, dan yang terpenting minta persetujuan rapat anggota.

Pengurus tipe risk avoider
Di sisi lain, ada pengurus yang cari aman. Pengurus yang bertipe risk avoider. Misinya dalam kepengurusan koperasi sederhana, yaitu : tidak rugi. Bagi pengurus tipe ini, tidak masalah koperasi tumbuh hanya satu digit per tahun selama uang anggota utuh. Pengurus model ini seperti mobil yang berlari 60 - 70 km/jam di jalan tol, tidak apa banyak didahului kendaraan lain, yang penting sampai ke tujuan. Jika tipe pengurus yang pertama tadi beresiko meruntuhkan koperasi, maka tipe pengurus yang seperti ini beresiko memundurkan koperasi. Keduanya sama-sama buruk, sama-sama merusak citra koperasi.

Namun tipe pengurus risk avoider ini lebih buruk daripada tipe pengurus risk taker. Mengapa? Karena bagi pengurus yang terlalu berani mengambil resiko, disana masih ada peluang untung. Bagi pengurus yang tidak berani mengambil resiko, hanya ada satu kemungkinan: rugi. Karena dalam bisnis tidak ada kata stagnan, yang ada naik atau turun. Jika kita tidak naik, ya kita turun. Jika di jalan tol masih tidak apa-apa didahului oleh kendaraan lain, maka dalam bisnis 'didahului' berarti tersingkir dari persaingan. Dan ujung-ujungnya koperasi paling hanya mengandalkan captive market dari anggota. Bahkan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg menyatakan bahwa 'Resiko terbesar adalah tidak  mengambil resiko sama sekali. Di dunia yang terus menerus mengalami perubahan, satu-satunya strategi yang dijamin gagal adalah strategi untuk tidak mengambil resiko'. Tidak mengambil resiko sebenarnya mengandung resiko tersendiri.

Contoh pengurus tipe ini adalah ketika ada peluang usaha yang menguntungkan koperasi, dan sebagian anggota pun telah mendorong pengurus untuk mengambil peluang usaha tersebut. Namun modal koperasi yang ada tidak cukup untuk modal usaha, sehingga jalan keluarnya adalah dengan mencari modal tambahan. Kebetulan ada bank yang menawarkan pinjaman modal usaha dengan jaminan tanah dan kantor koperasi. Pengurus tipe ini, tanpa terlebih dahulu memperhitungkan dan menilai peluang usaha yang ada, tanpa terlebih dahulu memperhitungkan biaya bunga dan cicilan pinjaman, menolak untuk mengambil peluang usaha tersebut. Penyebabnya: Takut dipusingkan dengan cicilan bulanan ke bank! Takut rugi! Takut tanah dan kantor koperasi disita bank!

Penyebab pengurus yang seperti ini antara lain :

1. Takut
Takut gagal, takut rugi, takut dicemooh. Sebaiknya pengurus yang seperti ini tidak usah menjadi pengurus, segera mundur atau dilengserkan secepatnya. Koperasi atau bisnis manapun tidak akan berkembang jika dipimpin oleh orang yang penakut. Seringkali ketakutan tidak semenakutkan yang kita kira jika kita berani untuk menghadapinya.

2. Malas
Malas berhitung, malas membuat analisa, malas ambil pusing, malas dimintai pertanggungjawaban. Merintis usaha baru tentunya menuntut usaha lebih, memerlukan pengorbanan lebih. Dan bagi orang yang malas, bagi orang yang sudah terbiasa dengan comfort zone, mesipun hitung-hitungan bisnisnya nampak masuk akal dan menguntungkan, tetap saja resiko yang tidak terlalu besarpun malas diambilnya.

3. Enggan bertanggung jawab
Dalam contoh diatas, ketika pengurus menambil keputusan untuk mengambil pinjaman dari bank. Maka pengurus lah yang harus berhadapan dengan pihak bank, pengurus lah yang harus bertanggung jawab kepada bank jika ada cicilan yang telat bayar. Tanggung jawab bukanlah sesuatu yang bisa dipikul oleh semua orang. Barangkali pengurus macam ini dipilih menjadi pengurus karena memang tidak ada pilihan lain, atau tidak enak kalau harus menolak.

4. Tidak tahu ilmu manajemen resiko
Sama seperti tipe pengurus risk taker. Pengurus koperasi yang seperti ini juga dikarenakan minim pengetahuan tentang manajemen resiko. Tidak tahu bahwa dalam bisnis mengambil resiko itu perlu. Tidak tahu bahwa resiko itu bisa dihitung. Tidak tahu bahwa resiko itu bisa diminimalkan.

Tipe pengurus seperti ini lah yang paling banyak, tipe pengurus yang cari aman. Justru koperasi menjadi tidak punya gaungnya di negeri ini kemungkinan karena banyak pengurus-pengurus yang seperti ini. Pengurus yang melempem, tidak agresif, tidak business oriented. Diakui memang berat menjadi pengurus koperasi, tanggung jawab dan amanah yang diemban sama sekali tidak ringan.

Terkadang godaan untuk bermain aman, kecenderungan untuk sekedar menjaga aset koperasi, hal seperti itu tidak dapat dipungkiri. Siapa sih orang yang mau tambah repot, tambah pusing, tambah beban tanggung jawab. Namun kembali lagi kepada tujuan Anda menjadi pengurus koperasi. Tujuan Anda menjadi pengurus bukan untuk santai-santai kan? Tujuan Anda menjadi pengurus adalah untuk mengorbankan diri demi kepentingan orang banyak. Meskipun nampaknya dengan mengambil resiko lebih, kita mendapat tanggung jawab lebih. Tapi disitulah letak pengorbanannya, disitulah letak nilai tambah dari seorang pengurus, disitulah peran seorang pengurus dibutuhkan. Jangan jadi pengurus jika Anda tidak siap untuk berkorban. Jangan jadi pengurus jika Anda tidak siap untuk belajar.

Mengambil Resiko yang Diperhitungkan
Pengurus koperasi yang ideal adalah yang berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan sebelumnya. Memang yang namanya resiko, berarti tidak ada jaminan dan tidak ada kepastian 100% bahwa langkah yang diambil akan berhasil. Disitulah keberanian diperlukan, keberanian untuk gagal, untuk salah dan disalahkan. Di dunia ini siapa sih yang tidak pernah salah dan khilaf?

Pengurus koperasi yang baik tidak alergi dengan resiko, juga tidak gegabah mengambil sembarang resiko. Ia tidak memandang resiko sebagai wilayah yang tak terpetakan, namun ia memandang resiko sebagai sesuatu yang dapat diperhitungkan. Bagi pengurus tipe ini resiko adalah konsekuensi tak terhindarkan dari mengelola koperasi, resiko selalu ada bahkan ketika kita menolak mengambil resiko, resiko itu tetap ada.

Ralph Waldo Emerson, seorang penulis, pernah berkata 'Hidup adalah eksperimen, semakin banyak eksperimen semakin baik'. Bagi seorang pengurus koperasi yang berani mengambil resiko bisnis, berarti ia sedang bereksperimen. Hasilnya bisa berhasil, bisa gagal. Meskipun hasilnya gagal, pasti ada sesuatu yang ia pelajari dari kegagalannya yang membuatnya lebih bijak dalam mengambil keputusan berikutnya.

Saran saya bagi pengurus koperasi :

  1. Berani ambil resiko
  2. Perhitungkan resiko atas tindakan yang akan diambil
  3. Pelajari manajemen resiko
  4. Pekerjakanlah pengelola yang paham manajemen resiko
  5. Buat langkah-langkah mitigasi, untuk meminimalkan atau menghindari resiko yang ada sebisa mungkin
  6. Sebisa mungkin buat dokumen manajemen resiko atas bisnis baru yang akan diambil
  7. Jika resiko dinilai terlalu besar, seimbang dengan hasilnya, minta keputusan rapat anggota
  8. Jika salah dalam mengambil keputusan, jangan putus asa, belajar terus, belajar dari pengalaman


Jangan jadi pengurus koperasi yang tidak berani mengambil resiko. Jangan jadi pengurus koperasi yang tidak bisa memperhitungkan resiko. Jangan jadikan koperasi Anda koperasi ecek-ecek.

KONSULTASI GRATIS

Konsultasikan permasalahan di Koperasi Anda melalui email ke: rizkiardibachtiar@gmail.com

PERTANYAAN & SARAN

ARSIP ARTIKEL

- Copyright © Konsultan Koperasi -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -