- Back to Home »
- Anggota Koperasi , Jangan Jadi Koperasi Ecek-ecek! , Manajemen Koperasi »
- Jangan Membatasi Keanggotaan Koperasi
Rabu, 09 September 2015
Jika anda secara acak bertanya kepada teman anda: Apa tujuan koperasi? Kemungkinan besar jawaban yang keluar adalah 'untuk mensejahterakan', atau kalau dipanjangkan 'untuk mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya'. Dan memang itu yang tertera dalam UU no.25 tahun 1992 Pasal 3 tentang tujuan koperasi, yaitu untuk
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oke, sekarang saya bertanya, pertanyaan logika sederhana :
- Apakah anda setuju bahwa mensejahterakan lebih banyak orang lebih baik daripada mensejahterakan sedikit orang? Jawabannya pasti SETUJU
- Jika koperasi mampu mensejahterakan anggotanya, apakah anda setuju koperasi lebih baik memiliki banyak anggota daripada memiliki sedikit anggota? Jawabannya pasti SETUJU
- Lebih banyak anggota, lebih banyak yang disejahterakan. RIGHT!
Coba bandingkan :
- Koperasi A membagikan SHU sebesar 100 juta kepada anggota yang jumlahnya 20 orang, dengan begitu satu orang mendapat Rp. 5 juta masing-masing
- Koperasi B membagikan SHU sebesar 100 juta kepada anggota yang jumlahnya 100 orang, dengan begitu satu orang mendapat Rp. 1 juta masing-masing
Pentanyaan saya, menurut anda Koperasi mana :
• Yang lebih mampu mensejahterakan?
• Yang lebih dapat merealisasikan tujuan dan nilai-nilai koperasi?
• Yang sesuai dengan harapan dan visi Bung Hatta?
Kalau pemikiran anda sama dengan saya, anda pasti memilih koperasi B. Mengapa? Karena meskipun nilai yang dibagi lebih sedikit, tapi nilai yang dibagi lebih merata ke banyak orang. Pertumbuhan ekonomi bukan sekedar berfokus pada angka atau nilai uang, tapi sejauh mana nilai uang tersebut tersebar merata diantara orang banyak. Menurunkan resiko ketimpangan dan kecemburuan sosial. Sehingga uang tidak hanya berfokus pada segelintir kelompok orang.
Namun jika anda termasuk 20 orang yang menjadi anggota koperasi A, anda pasti memilih koperasi A. Mengapa? Karena sederhana, manusia memiliki sifat egois. Sifat egois tercermin dalam bentuk mengumpulkan kekayaan untuk diri atau kelompoknya sendiri. Sifat egois mewujudkan dirinya dalam sifat tamak dan serakah. Jadi, bagi orang yang egois, bukannya semakin banyak anggota semakin baik. Tapi semakin banyak anggota semakin tidak baik, karena semakin banyak faktor pembaginya, semakin sedikit yang ia terima. Tidak terlalu peduli apakah orang lain ikut menikmati atau tidak.
Ini bukan sekedar isapan jempol belaka, ini adalah kenyataan yang riil terjadi. Dalam kenyataanya ada koperasi-koperasi yang justru membatasi jumlah orang yang bisa masuk menjadi anggota koperasi. Baik melalui pembatasan persyaratan keanggotaan di anggaran dasar, maupun melalui keputusan pengurus. Kalau ada koperasi pesantren A, adalah wajar untuk membatasi keanggotaan hanya bagi mereka yang berada di dalam dengan pesantren A, santri pesantren B tidak bisa jadi anggota. Namun jika ada koperasi pesantren A, lalu yang boleh menjadi anggota hanya guru dan karyawan pesantren, sementara santri tidak bisa bergabung. Itulah yang dimaksud dengan membatasi keanggotaan.
Izinkan saya memberikan ilustrasi :
Dalam satu komplek industri XYZ ada koperasi karyawan yang beranggotakan karayawan perusahaan A dan B. Perusahaan A dan B adalah perusahaan utama dan terbesar di komplek industri XYZ. Namun dalam satu komplek industri tersebut ada juga perusahaan C, D dan E, yang merupakan perusahaan supporting. Perusahaan A, B, C, D, E bekerja berdampingan dalam komplek industri tersebut, begitupun dengan karyawannya, hanya peran dan perusahaannya yang berbeda. Karyawan perusahaan A dan B adalah orang-orang yang bisa dikategorikan sejahtera, karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan bonafid yang memberikan gaji serta tunjangan yang lebih dari kata lumayan. Sementara karyawan perusahaan C, D dan E adalah karyawan dengan gaji UMR, golongan ekonomi pas-pasan, kelompok yang masih mengkredit motor. Berhubung karyawan perusahaan A dan B lebih pintar, lebih punya kemampuan ekonomi, lebih dapat melihat peluang usaha maka dibentuklah koperasi yang bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa di komplek industri XYZ. Setiap tahun koperasi tersebut mampu memberikan tingkat return diatas return saham bluechip unggulan sekalipun. Mengingat koperasi tersebut berburu di kebun binatang.
Anehnya, dari tahun ke tahun, dari RAT ke RAT. Tidak pernah ada pemikiran dari anggota koperasi yang merupakan karyawan perusahaan A dan B, untuk ikut merekrut karyawan perusahaan C, D dan E untuk menjadi anggota koperasi, untuk turut merasakan nikmat dan renyahnya berinvestasi di koperasi, untuk ikut merasakan kue SHU. Justru sebaliknya, kue SHU itu seperti buah terlarang yang tidak boleh dinikmati bagi karaywan perusahaan C, D dan E. Bahkan sengaja di anggaran dasar di nyatakan bahwa yang boleh menjadi anggota koperasi adalah (hanya)karyawan perusahaan A dan B.
Pertanyaan saya :
- Siapakah yang lebih berhak untuk disejahterakan oleh koperasi? Apakah karyawan perusahaan A dan B, yang punya gaji berkali-kali lipat UMR, atau karayawan perusahaan C, D dan E yang gajinya pas UMR.
- Apakah yang menghalangi karyawan A dan B, sebagai anggota koperasi, untuk mengubah persyaratan keanggotaan di anggaran dasar sehingga karyawan perusahan C, D dan E ikut dapat menjadi anggota koperasi? Apakah keserakahan, ketidakpedulian atau egoisme yang mengahangi mereka. Terang-terang dalam undang-undang perkoperasian atau peraturan manapun tidak ada yang membatasi anggota koperasi adalah perusahaan ini atau
- Jika saja Bung Hatta masih hidup dan melihat kenyataan seperti ini, akankah beliau langsung membubarkan koperasi model seperti ini? Yang membuat si kaya makin kaya, dan si miskin tetap miskin.
Bukanlah kebahagiaan jika kita mampu membeli kendaraan roda dua, roda empat, rumah di perumahan elit, bonus puluhan bahkan ratusan juta. Sementara mereka yang bekerja setiap hari berdampingan dengan kita, yang gaji UMRnya masih harus dipotong BPJS, tinggal di kontrakan, untuk sekolah anak masih harus ngutang sana-sini. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa merelakan sebagian kekayaan, kesejahteraan yang kita miliki untuk orang-orang yang dekat dengan kita. Bukan hanya saudara, bukan hanya teman, tapi orang yang tidak kenal tapi setiap hari bertemu dengan kita. Mereka adalah security yang membukakan gerbang, mereka adalah cleaning service yang membersihkan toilet, mereka adalah office boy yang membelikan kita makan siang di tempat kerja. Mengapa mereka yang seperti itu justru terlarang menjadi anggota koperasi.
Koperasi bukan untuk dimiliki segelintir orang, atau beberapa orang. Koperasi adalah untuk dimiliki oleh sebanyak mungkin orang. Koperasi bukan hanya untuk dimiliki golongan yang sudah mampu. Koperasi adalah untuk dimiliki oleh semua golongan, terutama mereka yang kemampuan ekonominya masih pas-pasan. Karenanya segala upaya yang sengaja dibuat untuk membatasi agar koperasi dimiliki oleh golongan tertentu adalah patut dikecam. Upaya tersebut layaknya kapitalisme yang berlindung dibalik nama koperasi, layaknya serigala yang bersembunyi dibalik jubah domba
Contoh yang bagus telah dilakukan oleh Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG). Sebagai koperasi karyawan yang membawa nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. KWSG tidak membatasi keanggotaan hanya pada karyawan PT. Semen Gresik. Namun keanggotaanya diperluas kepada setiap orang yang bekerja di lokasi perusahaan PT. Semen Gresik. Dan terutama karayawan KWSG adalah salah satu anggota KWSG. Jadi jika ada koperasi karyawan yang karyawan koperasinya tidak diperbolehkan menjadi anggota. Menurut saya itu adalah keterlaluan. Itu adalah usaha untuk membatasi kesejahteraan hanya pada sekelompok orang.
Masih menyambung cerita mengenai koperasi di kompleks industri XYZ tadi, ada tambahan cerita yang ingin saya bagi. Meskipun fiksi, semoga dapat diambil hikmahnya.
Di bulan Maret, tanggal 25, sore hari menjelang jam pulang kerja. Seperti biasanya. Asep, seorang pria paruh baya, menjelang 50an, sibuk mengelap salah satu mobil Innova putih yang terparkir di parkiran komplek industri milik BUMN terkemuka. Sebentar lagi tempat parkir yang penuh dengan mobil ini akan mendadak sepi. Sama sepinya seperti dompet milik Asep sekarang ini. Tahu sendiri, tanggal tua. Tapi bukan itu yang mengganjal hatinya, baginya dompet kosong di tanggal tua itu sudah biasa. Ada hal lain lagi yang membuat hatinya gelisah, sementara tangannya tetap sibuk mengoleskan kemoceng di exterior dan interior mobil putih yang memang sudah kinclong karena habis dicuci tadi siang. Tentunya Innova putih tersebut bukan milik Asep, mana mungkin ia sanggup membeli mobil ratusan juta. Bahkan dalam tidurnya ia tidak sampai berani memimpikan punya mobil seperti biasa ia kendarai tiap hari, paling mewah mimpi punya motor ninja. Buat menggantikan Mio yang dibelinya lima tahun lalu.
'Ayo goyang dumang, bikin hati senang, piki... Halo pak, siap pak!' Asep dengan sigap mengangkat handphone miliknya. Dari layar telpon ia sudah tahu siapa yang menelpon, di jam segini sudah pasti aba-aba untuk menjemput si bos di depan lobby. Padahal si bos tadi Cuma bilang 'sekarang sep'. Tidak lupa menset handphonenya dengan nada getar, khawatir si bos terganggu dengan ringtone 'goyang dumang' miliknya, karena Asep hafal betul betapa alerginya si bos dengan lagu dangdut. Tidak sampai lima menit, Asep sudah siap berdiri disamping pintu penumpang, siap membukakan handle pintu ketika si bos tinggal beberapa langkah lagi. 'Siap bos! Ga da yang ketinggalan?' Begitu ritual sapaan tiap kali menjemput pulang si bos. Dibalik senyumnya yang ga bisa dibilang manis dan pelayanan prima yang diberikan Asep. Tetap hal kegelisahan itu berputar-putar di otaknya. Kegelisahan yang mungkin bisa dibantu diatasi oleh si bos, apalagi kalau bukan soal duit. Minggu kemarin ia sudah menerima surat peringatan ke-tiga dari sekolah anaknya karena belum bayar uang gedung. Sudah berkali-kali anaknya diingatkan, ditegur sampai dipanggil pihak TU sekolah. Anak keduanya terancam tidak bisa ikut ulangan semesteran.
Sudah setengah jam Asep mengemudi, setengah jam pula ia mencoba mengutarakan maksudnya untuk mencoba peruntungannya mengajukan kasbon sama si bos. Namun entah mengapa bibirnya kelu, kaku, tak dapat bicara. Seperti anak muda yang coba menyatakan cinta. Ah, padahal ini kan Cuma urusan pinjam duit 500 ribu, gitu aja kok repot. Kalau saja bukan karena momen yang satu ini, momen ketika si bos membuka amplop yang didalamnya ada lembaran-lembaran merah, entah berapa puluh. Yang pasti lebih banyak dari gajinya Asep selama sebulan atau bahkan dua bulan. 'Dapet rezeki nomplok bos!' Asep nyeletuk begitu saja, otaknya secepat kilat menyambar momen yang pas untuk mengajukan proposal ngutang. 'Iya nih, baru dapet SHU dari koperasi, lumayan' jawab si bos singkat sambil menghitung lembaran kertas nan berharga itu. 'Itu sih bukan lumayan lagi bos, gaji saya sebulan mah lebih kali' celetuk Asep lagi. 'Lumayan sih, tapi belum cukup buat beli pelek sepeda'. Asep ingat, pelek sepeda si bos yang bengkok sehabis dipakai acara gowes di puncak minggu lalu. 'Emang pelek sepeda berapa bos, duit segitu mah cukup kali buat beli sepeda-sepedanya sekalian', Asep mencoba sedikit berbasa-basi sebelum masuk ke poin pembicaraan utama. Sepengetahuan Asep sepeda 2 juta itu udah yang paling bagus. 'Enak aja, sepeda gue itu peleknya aja 5 juta, mumpung bengkok sekalian gue mau ganti yang bagusan biar ga gampang bengkok lagi' jelas si bos, sedikit emosi. 'Masa sepeda gue mau disamain sama sepeda 2 jutaan, 2 juta mah Cuma buat beli helmnya doang.
Khawatir basa-basinya memicu emosi bos lagi, Asep langsung mencoba peruntungannya. 'Bos, maaf ni bos saya mau curhat sedikit...'. Tanpa perlu Asep menjelaskan panjang lebar, si bos langsung memotong 'Mau pinjem duit?. Asep Cuma cengengesan, sambil berkata lirih 'iya bos, tau aja ni bos'. Si bos sudah hapal kalau Asep mulai curhat pasti 99% UUD, ujung-ujungnya duit. 'Mau pinjem berapa?' si bos bertanya tegas. '500 aja bos, buat bayar sekolah anak, udah empat bulan belom bayar uang gedung, ditagih terus sama sekolah, kasian anak saya, jadi minder di sekolah, tar saya gajian langsung saya bayar deh bos. Eh, kalo bos berbaik hati potong dua kali aja ya bos dua setengah dua setengah, dua bulan'. Asep langsung nyerocos mengenai proposal pinjamannnya kepada si bos. Menjelaskan penjelasan yang tidak dipedulikan oleh bosnya.
'Yaudah nih gope, sambil menyisihkan lima lembar di dashboard mobil. Tadinya gue mau langsung beli pelek nih, tapi berhubung dari SHU juga kurang, yaudah lah gue pinjemin ke lu dulu. Tapi lo balikin sebelum gue harus nagih-nagih'. Si bos menyatakan persetujuannya, sekaligus mengeksekusi transaksi kredit kilat. Asep hanya tersenyum lega, hilang sudah kegalauan yang sedari pagi mengganjal hati dan pikirannya. Mission completed, hatinya tidak lagi galau mikirin anaknya yang harus nanggung malu karena belum bayar uang gedung.
Asep pulang dengan hati riang, memegang uang 500 ribu, meskipun hasil dari kasbon si bos. Si bos pulang dengan hati datar dan uang SHU 4,5 juta, setelah dipotong kasbon Asep. Disimpan di laci meja kerja, untuk tambahan buat beli pelek sepeda yang harganya 7 juta-an.
Koperasi oh koperasi... Uang SHU mu jatuh ke tangan yang salah.
Saran bagi pengawas, pengurus dan anggota koperasi yang kebetulan membaca tulisan ini. Sadarilah bahwa koperasi memiliki filosofi untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi banyak orang. Bukan hanya untuk sekelompok orang (apalagi kelompok yang sudah sejahtera). Menyadari bahwa berbagi itu lebih indah dan mampu memberikan kepuasan batin daripada banyaknya nilai rupiah yang kita dapat. Memperluas kemungkinan dan memasarkan keanggotaan kepada calon anggota.
Jika saja koperasi Anda masih membatasi keanggotaan pada sekelompok orang. Sungguh koperasi Anda adalah koperasi ecek-ecek, bahkan tidak layak disebut koperasi. Karena sudah jauh menyimpang dari filosofi koperasi. Kalau saja Bung Hatta menjadi menteri koperasi maka izin koperasi Anda pasti dicabut karena telah membatasi keanggotaan hanya pada sekelompok orang. Betapapun koperasi Anda mampu mengeruk pundi-pundi uang, koperasi Anda tetap koperasi ecek-ecek jika masih membatasi keanggotaan.
Jangan jadi koperasi ecek-ecek!
kontributor : Rizki Ardi