- Back to Home »
- Jangan Jadi Koperasi Ecek-ecek! , Manajemen Koperasi »
- Koperasi Harus Berani Rugi
Rabu, 16 September 2015
Di undang-undang nomor 17 tahun 2012 yang sempat dibatalkan oleh MK. Singkatan SHU sempat diubah, dari awalnya SHU yang berarti Sisa Hasil Usaha, menjadi Selisih Hasil Usaha. Ada apa dibalik perubahan nama ini? Sekilas tidak terlalu banyak berbeda. Namun ada filosofi yang mendalam disitu. Istilah Surplus Hasil Usaha secara tidak langsung mengharuskan koperasi untuk selalu surplus, selalu untung. Padahal tidak harus demikian. Namanya bisnis kadang untung kadang rugi, asal jangan rugi terus. Beda dengan istilah Selisih Hasil Usaha, selisih bisa selisih plus (untung), bisa minus (rugi). Jadi koperasi diperlakukan sebagaimana badan usaha lain, yang tidak harus melulu untung.
Jangan disalahartikan bahwa saya berharap atau bahkan menganjurkan koperasi untuk rugi. Tidak sama sekali. Disini saya hanya ingin memberikan perspektif yang benar mengenai 'rugi'. Jika dibandingkan dengan bela diri, rugi itu ibarat jatuh. Tujuan bela diri bukanlah untuk jatuh, namun seorang yang belajar bela diri tidak boleh takut jatuh. Dan di bela diri tertentu seperti judo dan aikido, yang pertama dipelajari adalah bagaimana jatuh yang baik. Agar ketika jatuh kita mampu bangkit lagi dengan cepat. Begitupun di bisnis, tujuannya bukanlah untuk rugi, namun seseorang yang memutuskan untuk terjun dalam bisnis tidak boleh takut rugi. Rugi dan untung, jatuh dan bangkit, siang dan malam, hanyalah tahapan-tahapan kehidupan. Masalahnya bukan kita tidak boleh rugi, tapi bagaimana kita lebih banyak untungnya daripada rugi. Bukan berapa kali kita jatuh, tapi berapa kali kita bangkit, itu yang penting.
Pembahasan konsep berani rugi ini dibagi menjadi dua, yaitu bagi :
1. Koperasi yang baru berdiri dan baru merintis
2. Koperasi yang telah mapan
Koperasi yang baru berdiri dan baru merintis
Suatu bisnis di awal-awal berdirinya tentu membutuhkan investasi, harus mengeluarkan biaya terlebih dahulu sebelum berharap mendapat keuntungan. Bisnis rumah makan misalnya, di awal-awal bisnis tersebut harus mengeluarkan investasi untuk membeli atau menyewa tempat, biaya merenovasi tempat, biaya karyawan, biaya bahan baku, biaya promosi dan lain-lain. Padahal di bulan-bulan pertama restoran buka, mungkin saja biaya yang dikeluarkan lebih besar dibanding pendapatan yang masuk. Yang berarti di bulan-bulan pertama restoran tersebut merugi. Tapi jika pemilik restoran punya keyakinan dan optimisme yang kuat bahwa restorannya pasti sukses, ia akan terus mengeluarkan biaya-biaya tersebut, meskipun di bulan-bulan pertama merugi. Karena pemilik restoran punya optimisme dan rencana bisnis yang jelas kapan restorannya mulai untung, kapan restorannya balik modal. Dan balik modal ini juga tidak bisa dalam beberapa bulan, bisa satu tahun, bisa lebih.
Sama halnya dengan koperasi, yang merupakan badan usaha. Ada kalanya anggota tidak mengerti, ketika di tahun pertama koperasi berdiri langsung dituntut tahun itu juga harus bisa bagi-bagi SHU. Kalau tuntutannya begitu, di tahun pertama langsung bisa bagi-bagi SHU. Maka kecenderungan pengurus adalah dengan mencari bisnis-bisnis yang mudah, yang pasti-pasti, yang tidak perlu keluar banyak modal. Pengurus pun pasti enggan menginvestasikan uangnya untuk membangun aset, merekrut dan melatih SDM yang berkualitas, mengembangkan organisasi. Koperasi di tahun pertamanya saja sudah seperti sapi perah, paling-paling bisnis yang dilakukan adalah bisnis makelar, menjadi perantara. Di koperasi karyawan misalnya, yang paling mudah adalah mendapat order dari perusahaan induk lantas memberikan order tersebut ke supplier lain dengan margin kecil, katakanlah 5%. Padahal jika koperasi tersebut berani berinvestasi merekrut orang yang berpengalaman, berinvestasi membeli kendaraan, keuntungan dari order tersebut jika dilaksanakan sendiri bisa 20% - 30%, dan itu untuk jangka panjang.
Untuk anggota dan pengurus koperasi saya pesankan, jika Anda baru membentuk koperasi. Koperasinya baru berdiri. Jangan berharap untuk mengambil untung, jangan beraharap untuk menerima SHU untuk tiga tahun pertama. Biarkan selama tiga tahun tersebut modal koperasi digunakan untuk memupuk modal, jangan diambil dulu. Biarkan selama tiga tahun pertama uang yang ada di koperasi digunakan untuk diinvestasikan pada aset produktif, pada manusianya juga. Kalaupun dalam tiga tahun pertama koperasi merugi, kan bisa dilihat ruginya kenapa. Kalau ruginya karena ada aktivitas investasi, aktivitas riset, aktivitas pemasaran, aktivitas pengembangan, saya rasa itu wajar dan masih bisa dipertanggungjawabkan. Kalau ruginya karena salah urus atau pengeluaran yang diluar kewajaran, baru Anda sebagai anggota wajib turun tangan untuk mengintervensi koperasi.
Di tiga tahun pertama adalah masa kritis sebuah koperasi. Di situlah saat koperasi meletakkan dasar organisasi yang kuat. Apa yang dilakukan di tiga tahun pertama memang tidak terkait langsung dengan profit. Namun penting sebagai pondasi koperasi di masa depan. Dalam tiga tahun pertama apa yang menjadi prioritas koperasi? Yaitu menetapkan visi, misi, nilai dan rencana strategis yang mapan dan dipahami oleh semua pihak terkait; Melakukan investasi pada infrastruktur dan sistem kerja; Merekrut dan mengembangkan SDM yang berkualitas; Memahami pasar dan pelanggan; Membangun citra koperasi sebagai organisasi yang dapat dipercaya dan profesional. Semua itu tidak terkait langsung dengan pencapaian finansial, tapi jika tidak dilakukan maka pencapaian finansial koperasi secara jangka panjang bisa terancam.
Lalu bagaimana koperasi yang di tahun-tahun pertamanya langsung fokus pada pencapaian profit? Tidak apa-apa selama aktivitas dasar, pondasinya tetap dibangun disaat yang sama. Hanya saja perlu perhatian dan kerja extra keras untuk fokus pada dua hal sekaligus. Yaitu mencari profit dan membangun pondasi organisasi. Jikalau ada koperasi yang di tahun-tahun pertamanya hanya fokus pada profit dan lupa membangun pondasi organisasi, kemungkinan besar di tahun-tahun k etiga sampai ke lima, koperasi tersebut akan mengalami kegamangan, kehilangan arah. Tidak tahu koperasi ini mau dibawa kemana, tidak tahu apa yang harus dijadikan pegangan. Terlebih ketika ada penggantian pengurus, maka halauan koperasi bisa begitu saja berubah, organisasi koperasi terombang-ambing. Terutama pengelola yang ada di dalamnya. Beda pengurus beda arah kebijakan, sama halnya kapal yang berganti arah ketika berganti nakoda. Ini semua karena pada awalnya tidak fokus untuk membentuk pondasi organisasi.
Dan saya tegaskan lagi, untuk membentuk pondasi organisaasi diperlukan biaya. Biaya yang seringkali menurunkan profit koperasi atau bahkan bisa sampai membuat koperasi rugi. Jika biaya untuk membangun pondasi organisasi sudah diperhitungkan matang-matang, buat apa ragu-ragu. Kalaupun rugi di tahun-tahun pertama, itu memang pengorbanan yang harus dibayar di awal untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Jadi jika ada koperasi yang baru berdiri tapi tidak bersedia rugi, itu ibarat orang yang mau mencapai suatu impian tapi tidak bersedia berkorban di awal.
Koperasi yang telah mapan
Siapa bilang koperasi yang sudah mapan itu pantang merugi? Maksud saya disini bukan merugi secara keseluruhan bisnis koperasi. Ketika koperasi sudah mapan, sudah berdiri tiga atau lima tahun lebih. Profitnya secara keseluruhan harus naik terus. Jangan sampai turun apalagi merugi. Yang ingin saya bahas disini adalah kerugian di masing-masing unit usaha.
Di koperasi tentunya ada lebih dari satu unit usaha. Unit usaha adalah sumber pendapatan koperasi, semakin banyak unit usahanya semakin besar peluang memperoleh pendapatan. Koperasi yang punya tiga unit usaha cenderung lebih baik daripada yang punya dua unit usaha, semakin banyak unit usaha semakin baik. Dari tahun ke tahun koperasi harus berani melakukan riset untuk mengembangkan unit usaha baru yang berpotensi memberi keuntungan bagi koperasi. Jangan sampai ada cerita, koperasi yang saat ini punya 5 unit usaha, 10 tahun kemudian masih tetap punya 5 unit usaha, bahkan bisa jadi kurang dari 5. Koperasi yang seperti itu koperasi yang tidak berkembang, minim inovasi.
Koperasi yang berkembang adalah koperasi yang senantiasa mencari inovasi dan terobosan di bidang usaha. Mencari cara baru mendapatkan pendapatan. Membuka bisnis baru, mendirikan anak perusahaan, mencari segmen pasar baru. Jika tahun ini cuma punya usaha toko dan simpan pinjam, tahun depan coba merintis usaha katering, tahun depannya lagi usaha penyewaan peralatan pesta, tahun depannya lagi barangkali bisa jadi wedding organizer, dan seterusnya.
Lalu apa hubungannya unit-unit usaha tersebut dengan berani rugi? Tentu ada, setiap usaha baru pasti ada resiko rugi, resiko gagal. Kalau tahun ini koperasi merencanakan dan mengeksekusi 5 usaha baru, dan ternyata yang 1 gagal, yang 4 berhasil. Itu masih wajar dan masih bisa dikatakan prestasi bagi pengurus koperasi. Jika suatu usaha telah diperhitungkan secara matang, mendapat persetujuan rapat anggota, namun karena faktor-faktor eksternal, bisnis tersebut rugi maka bisa dimaklumi. Bahkan rugi disini tidak sama dengan gagal, bisa saja rugi disini karena memang belum untung, belum sukses. Bisa saja di tahun pertama unit usaha baru merugi, tahun ke dua baru untung, tahun ke tiga ternyata malah untung besar.
Janganlah anggota koperasi menyalahkan pengurus jika ada salah satu dari sekian banyak unit usaha yang merugi. Banyaknya unit usaha justru mencerminkan kreativitas pengurus dalam berbisnis. Itu tandanya pengurus berjiwa wirausaha. Anggota koperasi harus punya toleransi yang sehat terhadap kerugian. Bahwa kerugian kadangkala memang jalan yang harus dilewati untuk mencapai keuntungan.
Sejauh mana koperasi memiliki toleransi terhadap kerugian, sejauh itu pula peluang inovasi terbuka di koperasi tersebut. Bahkan perusahaan raksasa dunia, Google pun tidak semua produknya berhasil. Tidak semua usaha yang dirintisnya untung. Di akhir tulisan ini saya ingin mengajak Anda, praktisi koperasi, pengurus, pengawas, anggota dan pengelola. Untuk memandang kerugian tidak hanya dari satu lensa yang negatif. Terkadang kerugian memang diperlukan, tak terhindarkan. Koperasi yang tidak berani rugi akan sulit majunya, karena ia tidak mau menanggung resiko. Buka mata, perluas persepsi, jangan jadi koperasi ecek-ecek.
kontributor : Rizki Ardi